oleh

Marpangir,Antara Tradisi dan Ajaran Kitab Suci

-Uncategorized-2,225 views

Oleh: Dr. Hj. Fauziah Nasution, M.Ag.

Mitanews.co.id | Masyarakat muslim Indonesia memiliki tradisi yang beraneka ragam dalam menyambut bulan suci Ramadhan, diantaranya adalah marpangir.

Dalam tradisi masyarakat Mandailing, Marpangir merupakan kebiasaan membersihkan diri dengan melakukan mandi di hari terakhir bulan Sya’ban (H-1 Ramadhan).

Tradisi yang sama dilakukan masyarakat muslim Sumatera Barat dengan istilah, Balimau, meski dengan istilah yang berbeda tapi mengandung makna yang sama yaitu simbol penyucian diri menyambut bulan Ramadhan.

Tradisi ini masih terus berjalan bahkan mengalami perkembangan menjadi sarana rekreasi.

Dalam praktiknya Marpangir, mulai kehilangan filosofinya. Marpangir, kemudian menjadi agenda rekreasi menjelang Ramadhan.

Menarik ketika membaca buku “Orang Batak Berpuasa” karangan Baharuddin Aritonang.

Ketika membahas ibadah puasa dalam realitas dan aktualitas masyarakat Muslim di Sumatera Utara, Baharuddin menjelaskan tradisi yang dilakukan masyarakat dalam berpuasa, diantaranya adalah Marpangir.

Menurut Baharuddin, Marpangir secara bahasa berasal dari akar kata pangir yang berarti ramuan bahan alamiah yang digunakan untuk membersihkan rambut dan sekujur tubuh. Ramuan tersebut terdiri atas: Limau (Jeruk nipis atau jeruk purut), daun pandan, ampas kelapa dan pewangi (bunga mawar, bunga kenanga atau akar wangi).

Mandi di sore hari, H-1 Ramadhan dengan menggunakan ramuan inilah yang disebut Marpangir. Tradisi marpangir pada awalnya dilaksanakan secara perorangan, di sore hari menjelang malam pertama bulan Ramadhan.

Ini dilakukan setelah kegiatan bersih-bersih lingkungan sekitar baik rumah tempat tinggal, jalan terutama tempat-tempat ibadah.

Pada praktiknya, saat ini Marpangir mengalami transformasi besar-besaran. Tidak hanya dari bentuk kegiatan yang awalnya sederhana, yaitu mandi dengan menggunakan pangir, di sore hari menjelang masuknya bulan Ramadhan, kemudian berubah menjadi kegiatan rekreasi yang dilakukan dari pagi hingga sore hari.

Bila awalnya Marpangir dilakukan di rumah, pancur, sungai (tempat pemandian umum) dengan jarak yang dekat, kemudian berubah ke tempat rekreasi dengan jarak tempuh yang jauh. Realitanya praktik Marpangir saat ini telah “lari” dari filosofinya.

Bila diawal Marpangir bertujuan mensucikan diri (mandi taubat) dengan air yang dicampur rempahan alamiah dengan tujuan agar bersih lahir dan batin menyambut Ramadhan, saat ini Marpangir menjadi sarana bercampur baurnya yang bukam mahram dan media pacaran pasangan yang belum halal.

Interaksi Islam dengan budaya Mandailing dalam jangka waktu yang panjang telah melahirkan falsafah “Hombar do Adat Dohot Ibadat.”

Falsafah ini kemudian tercermin dalam pengewantahan nilai kearifan lokal masyarakat Mandailing Poda Na Lima ( pesan yang lima) yaitu: paias bagasmu (bersihkan rumahmu), Paias halamanmu (bersihkan pekarangamu), paias parabitonmu (bersihkan pakaianmu), paias pamatangmu ( bersihkan badanmu), dan paias rohamu ( bersihkan pikiranmu).

Sebagai pengejawantahan nilai kearifan lokal ini masyarakat muslim Mandailing maupun Batak Muslim di Sumatera Utara, menjelang Ramadhan, melakukan kebersihan baik rumah tempat tinggal maupun tempat ibadah seperti, langar, suaru dan masojid (masjid) dan kebersihan diri.

Fenomena keberagamaan masyarakat Mandailing menjelang Ramadhan ini menurut Azyumradi Azra merupakan bentuk interaksi, akomodasi dan saling berpengaruh (interplay) antara ajaran Islam dalam wujud dialog sosial-budaya yang intens ketika para penganutnya berusaha mengamalkan doktrin-doktrin agama dalam kehidupan.

Bila dianalisis fenomena keberagamaan dalam bentuk ini rentan menyimpang dari ajaran Islam, baik karena melemahnya nilai-nilai sosial/kearifan lokal muapun lemahnya pemahaman umat akan ajaran Islam.

Marpangir merupakan wujud dialog sosial -budaya ketika masyarakat berusaha mengamalkan doktrin-doktrin agama dalam kehidupan.

Satu hal yang harus dijadikan catatan para tokoh-tokoh Muslim dan umat Islam, mengingat praktik ini semakin jauh dari nilai-nilai kearifan lokal masyarakat muslim maupun ajaran Islam.

Marpangir merupakan pengejawantahan dari nilai kearifan lokal Poda Na Lima dan dalam praktiknya harus sejalan dengan falsafah orang Mandailing dalam beragama “ Hombar do Adat Dohot Ibadat”. Wallahu A’lam bi Ash-Shawaf.(Red)

Baca Juga :
Pemprov Sumut Raih Penghargaan Penanganan Covid-19 Terbaik Ke-2 Wilayah Sumatera

News Feed