oleh

AI sebagai Alat, Bukan Otoritas Redaksi

-Opini-145 views

AI sebagai Alat, Bukan Otoritas Redaksi

Oleh Ir Zulfikar Tanjung

Mitanews.co.id ||
Perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah mengubah cara kerja jurnalisme secara mendasar. Kecepatan, efisiensi, dan kemampuan mengolah data dalam skala besar membuat AI semakin akrab di ruang redaksi. Namun, di tengah euforia teknologi ini, satu pertanyaan mendasar mengemuka: sampai di mana batas peran AI dalam karya jurnalistik?

Pertanyaan itu relevan sebagai refleksi Dialog Pers “Penerapan AI dalam Karya Jurnalistik – Berita Akurat dan Jaga Hak Privasi” yang diselenggarakan Dewan Kehormatan PWI Sumatera Utara di Hotel Madani Medan, Senin (15/12/2025).

Forum ini menjadi ruang refleksi penting bagi insan pers untuk menimbang ulang relasi antara teknologi dan tanggung jawab jurnalistik.

AI menawarkan banyak kemudahan. Ia mampu membantu transkripsi wawancara, menganalisis data besar, memetakan tren isu publik, hingga menyusun draf awal berita. Dalam situasi tertentu, AI bahkan membantu redaksi bekerja lebih cepat dan efisien. Namun, di sinilah letak persoalannya: AI bekerja berdasarkan algoritma dan probabilitas, bukan nilai, nurani, dan tanggung jawab moral.

Jurnalisme, sejak awal kelahirannya, tidak sekadar soal menyampaikan informasi, melainkan soal menyampaikan kebenaran yang diverifikasi. Di titik ini, AI tidak boleh menjadi otoritas redaksi. Keputusan editorial—apa yang layak diberitakan, bagaimana sudut pandangnya, dan dampak sosialnya—harus tetap berada di tangan manusia.

Bahaya terbesar dari penggunaan AI yang tak terkendali bukan hanya soal akurasi, tetapi juga pelanggaran hak privasi. AI cenderung mengolah data yang tersedia di ruang digital tanpa sensitivitas konteks. Dalam liputan kriminal, konflik keluarga, atau kasus yang melibatkan anak dan kelompok rentan, penggunaan AI tanpa kendali etika dapat dengan mudah melanggar batas-batas kemanusiaan.

Di sinilah jurnalis diuji. Kecepatan bukan segalanya. Jurnalis justru dituntut untuk memperlambat langkah ketika berhadapan dengan isu-isu sensitif—melakukan verifikasi berlapis, konfirmasi, dan pertimbangan etis. AI dapat membantu proses awal, tetapi verifikasi adalah kerja manusia.

Forum dialog yang digelar Dewan Kehormatan PWI Sumut juga menegaskan satu hal penting: kode etik jurnalistik tidak boleh tunduk pada algoritma. Algoritma media sosial bekerja untuk popularitas, bukan kepentingan publik. Sementara jurnalisme hadir justru untuk melayani kepentingan publik, bahkan ketika kebenaran itu tidak populer.

Perbedaan inilah yang membedakan jurnalis dengan konten kreator. Di era digital, semua orang bisa memproduksi konten. Namun tidak semua konten adalah jurnalisme. Jurnalis bekerja dengan standar etik, akuntabilitas, dan tanggung jawab sosial. AI, dalam konteks ini, harus diposisikan sebagai alat bantu profesional, bukan sebagai penentu arah redaksi.

Penggunaan AI yang sehat dalam jurnalisme justru menuntut peningkatan kapasitas jurnalis. Literasi digital, pemahaman algoritma, dan kemampuan membaca bias teknologi menjadi keterampilan baru yang tak terelakkan. Tanpa itu, jurnalis berisiko menjadi sekadar operator teknologi, bukan penjaga kebenaran.

Karena itu, dialog pers seperti yang digelar di Medan menjadi penting. Ia bukan hanya membahas teknologi, tetapi juga menegaskan kembali martabat pers. Di tengah derasnya arus disinformasi, hoaks, dan manipulasi algoritma, pers dituntut untuk tetap berdiri tegak sebagai institusi yang dipercaya publik.

AI boleh masuk ruang redaksi, tetapi nurani jurnalistik tidak boleh keluar. Teknologi harus memperkuat jurnalisme, bukan menggantikannya. Selama keputusan editorial tetap berakar pada etika, kepentingan publik, dan penghormatan terhadap hak privasi, jurnalisme akan tetap relevan—bahkan di era kecerdasan buatan.(Penulis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers)***

Baca Juga :
Kuasa Hukum Nilai Kejatisu Lamban, Kurang Empati terhadap Keluarga Syahdan