oleh

Aspekpir Ancam Lapor KPK, Kasus Lahan 1.408 Hektar di Asahan Belum Tuntas

-Daerah-1,963 views

Aspekpir Ancam Lapor KPK, Kasus Lahan 1.408 Hektar di Asahan Belum Tuntas

MEDAN.Mitanews.co.id ||


Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (Aspekpir) Sumatera Utara berencana melaporkan dugaan kejanggalan dalam pelepasan lahan seluas 1.408 hektar di Kabupaten Asahan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung.

Ketua Aspekpir Sumut, Syarifuddin Sirait, menyebut persoalan ini telah berlangsung selama hampir tiga dekade tanpa kepastian hukum yang jelas.

Ia menilai, pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat seolah abai terhadap pelaksanaan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 66/HGU/DA/85/B/51 tertanggal 13 November 1996.

"Tanpa langkah tegas, SK dan dua Perda yang mengatur penataan ruang hanya akan menjadi dokumen mati, tak memberi arti apa pun bagi kepentingan masyarakat," ujar Syarifuddin saat ditemui di Medan, Senin 11 Agustus 2025.

Lebih lanjut dijelaskanya, dalam SK tersebut, disebutkan bahwa lahan seluas ±1.408 hektar yang sebelumnya dikuasai PT Bakrie Sumatera Plantations (PT BSP) seharusnya dilepaskan dan digunakan untuk mendukung pengembangan kawasan perkotaan Kisaran, sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR).

Komitmen ini diperkuat melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Asahan Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perkotaan Kisaran BWK III dan IV, yang kemudian diperbarui lewat Perda Nomor 3 Tahun 2012.

"Namun hingga 2025, pelepasan lahan tersebut belum terealisasi secara menyeluruh. Sebagian besar masih dikuasai PT BSP. Bahkan muncul indikasi alih fungsi dan kepemilikan tanpa transparansi," jelas Syarifuddin.

Ia menyebut, sebagian dari lahan itu kini justru telah beralih menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Graha Asahan Indah. Di lapangan, bahkan disebutkan lahan tersebut telah dijual dan dimiliki oleh perusahaan ritel besar, Suzuya Group, serta seorang individu berinisial SHS.

"Lahan yang seharusnya menjadi aset publik, kini justru diduga sudah diperjualbelikan. Salah satunya bahkan didukung oleh Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan oleh Lurah Sei Renggas atas nama Zakaria. Ini sangat janggal," sebutnya.

Menurut Aspekpir, belum terlihat upaya konkret dari Pemkab Asahan maupun Kantor BPN untuk menertibkan status lahan tersebut, meskipun instruksi dalam SK 1996 bersifat mengikat secara hukum.

"Lebih menyedihkan, masyarakat yang memanfaatkan sebagian lahan tersebut untuk kegiatan ketahanan pangan justru dianggap sebagai penggarap ilegal. Sementara sejumlah perusahaan atau perorangan seolah mendapat keistimewaan," ungkap Syarifuddin.

Ia menambahkan, ketimpangan perlakuan ini memicu pertanyaan besar dari masyarakat setempat. "Mengapa hak kami sebagai warga negara terabaikan, sementara pihak-pihak tertentu dapat menguasai lahan tersebut tanpa hambatan?"

Aspekpir menilai sudah saatnya pemerintah pusat turun tangan untuk menyelesaikan persoalan ini secara menyeluruh dan transparan.

Sejak masa kepemimpinan Bupati Asahan Taufan Gama Simatupang hingga Surya yang kini menjabat sebagai Wakil Gubernur Sumut persoalan ini hanya bergulir di permukaan.

"Pertanyaannya sekarang, apakah di era Bupati Taufik Zainal Abidin masalah ini akan kembali menjadi cerita lama yang tak berujung? Ataukah akan menjadi momentum penegakan hukum dan keadilan tata ruang di Kabupaten Asahan?" kata Syarifuddin dengan nada tanya.

Aspekpir menegaskan pihaknya siap menyerahkan seluruh dokumen dan data yang dimiliki kepada penegak hukum, sebagai dasar pelaporan ke KPK dan Kejaksaan Agung.

Sebagaimana dikethui, sengkarut status lahan di Asahan mencerminkan betapa pentingnya keterbukaan, akuntabilitas, dan konsistensi pelaksanaan regulasi tata ruang.

Jika tidak ditangani serius, publik akan terus menjadi korban dari ketimpangan penguasaan lahan dan ketidakpastian hukum.(mn.09)***

Baca Juga :
Binjai Pionir, Masyarakat Antusias Manfaatkan Samsat Malam yang akan Diperluas di 29 Titik di Sumut