Belajar dari Empati Wong Chun Sen: Bukan Sekadar Kursi Roda, Ini Tentang Hati Nurani Pemimpin
Oleh Zulfikar Tanjung
Mitanews.co.id ||
Dalam dunia politik yang sering diwarnai oleh retorika dan simbolisme, tindakan nyata yang sederhana tapi tulus justru menjadi cermin paling jujur tentang karakter sejati seorang pemimpin.
Apa yang dilakukan Ketua DPRD Kota Medan, Wong Chun Sen, saat menyerahkan kursi roda kepada seorang wanita lansia, Senin (19/5) bukan sekadar aksi sosial biasa. Itu adalah refleksi dari jiwa empati, kepemimpinan melayani, dan kehadiran nyata seorang pejabat publik di tengah rakyatnya yang sedang menderita.
Saat berkunjung ke kediaman lansia itu di Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun, Wong tidak membawa janji politik atau kampanye tersembunyi. Ia membawa sesuatu yang jauh lebih berarti: kepedulian yang berangkat dari informasi kecil tetapi berdampak besar.
Dari pengakuan adik lansia itu, sang kakak sudah dua minggu hanya bisa terbaring akibat serangan stroke. Harapan sederhana mereka hanya satu—kursi roda agar bisa merasakan sinar matahari pagi.
Bagi sebagian orang, kursi roda adalah alat bantu. Namun bagi lansia itu adalah harapan, semangat hidup, dan simbol bahwa ia tak dilupakan. Dan bagi masyarakat yang menyaksikan, itu menjadi pesan kuat bahwa seorang pemimpin bisa hadir bukan hanya saat peresmian, tetapi di saat warga paling membutuhkan.
Ketika Wong mengatakan, "Kabarnya, ibu ini membutuhkan kursi roda, spontan kami segera membeli kursi roda dan membawanya ke kediaman ibu itu," ia tidak sedang membangun citra. Ia sedang menerjemahkan empati menjadi tindakan konkret. Ia tidak membentuk tim kajian atau menunggu laporan resmi dari kelurahan. Ia bergerak cepat, karena kepedulian tidak mengenal prosedur berbelit.
Dalam narasi yang lebih luas, tindakan ini adalah antitesis dari gaya kepemimpinan birokratis yang kaku dan sering berjarak. Wong membuktikan bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak hanya mendengar keluhan, tetapi juga hadir dan bertindak.
Bahkan, ia mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang telah memberikan informasi, menandakan bahwa ia melihat warga bukan sebagai objek kekuasaan, tapi mitra sosial dalam membangun kepedulian.
Inilah makna sejati kepemimpinan berjiwa humanis: ketika kekuasaan digunakan bukan untuk menjaga jarak, tetapi untuk merengkuh yang tertinggal. Kepemimpinan seperti ini tidak membutuhkan sorotan kamera atau panggung besar. Cukup satu kursi roda, satu kunjungan, dan satu hati nurani yang tergerak.
Dan publik perlu mencerna ini bukan hanya sebagai berita ringan, tetapi sebagai refleksi penting dalam memilih dan menilai para pemimpin kita. Apakah mereka hadir saat rakyat membutuhkan? Apakah mereka bergerak karena hati, bukan hanya karena kepentingan?
Aksi Wong Chun Sen hari itu telah menjawabnya dengan lugas: pemimpin sejati bukan diukur dari banyaknya jabatan, tetapi seberapa jauh ia menyentuh kehidupan mereka yang paling lemah.(penulis wartawan utama bersertifikat dewan pers)***
Baca Juga :
Pemerintah Kabupaten Asahan Mediasikan Kasus Perundungan Siswa SD