oleh

Bupati Samosir Buka Festival Wisata Edukasi Leluhur Batak Rumahela 2025

-Daerah-222 views

Bupati Samosir Buka Festival Wisata Edukasi Leluhur Batak Rumahela 2025

SAMOSIR.Mitanews.co.id ||


Festival Wisata Edukasi Leluhur Batak (FWELB) Rumahela 2025 resmi dimulai. Bupati Samosir, Vandiko Timotius Gultom, ST, membuka langsung perhelatan budaya tersebut di halaman Kantor Bupati Samosir, Selasa 1 Juli 2025, didampingi Pembina Komunitas Rumahela, DR. Hinca IP. Panjaitan XIII, SH, MH, ACCS, serta jajaran Forkopimda dan tokoh adat.

Mengusung tema “Hokkop Ma Tanom, Paangur Bona Ni Pinasam” (Rawatlah Bumi, Lestarikan Budayamu), festival ini digelar hingga 10 Juli 2025. Komunitas Rumahela Raja Isombaon dan Siboru Siakgoina menjadi penggagas kegiatan yang memadukan ritual adat, penanaman pohon, pertunjukan budaya, serta dialog lintas generasi mengenai warisan leluhur Batak.

Dalam sambutannya, Bupati Vandiko menyatakan bahwa pelestarian budaya tidak bisa dipisahkan dari upaya perlindungan lingkungan. Menurutnya, FWELB menjadi momentum penting untuk membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya menjaga jati diri budaya dan kelestarian alam sebagai satu kesatuan nilai kehidupan.

“Festival ini bukan sekadar perayaan budaya, tetapi juga bentuk nyata kontribusi kita terhadap revalidasi Geopark Kaldera Toba oleh UNESCO. Ini bagian dari upaya menguatkan keragaman budaya (cultural diversity) sebagai salah satu unsur geopark,” ujarnya.

Ia menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten Samosir secara konsisten menyelenggarakan festival dan event budaya, baik yang diprakarsai pemerintah maupun komunitas. Hal ini bertujuan agar budaya Batak tetap hidup dan diminati generasi muda di tengah arus modernisasi.

Lebih jauh, Vandiko menjelaskan bahwa pada rapat koordinasi revalidasi Geopark Kaldera Toba yang digelar sehari sebelumnya di Medan, pihaknya menegaskan komitmen Samosir untuk memperkuat ketiga pilar geopark: keragaman geologi (geo diversity), hayati (bio diversity), dan budaya (cultural diversity). Menurutnya, FWELB menjadi bentuk konkret dari komitmen tersebut.

“Mari kita jaga hutan, larang pembakaran lahan, dan tanamkan nilai budaya ke generasi muda. Ini bukan hanya demi status geopark, tetapi demi masa depan tanah Batak itu sendiri,” tandasnya.

Sementara itu, Pembina Komunitas Rumahela, DR. Hinca IP. Panjaitan XIII, yang juga anggota DPR RI Komisi III, memberikan pidato penuh refleksi tentang makna FWELB. Ia menyebut festival ini sebagai bentuk penolakan halus terhadap lupa, serta ajakan untuk berdamai dengan akar budaya di tengah derasnya arus globalisasi.

“Kami menyadari bahwa perubahan besar berawal dari kesadaran kecil. Dari tekad menjaga tanah bukan sebagai warisan yang dihabiskan, melainkan titipan yang harus dilestarikan,” ujarnya.

Hinca menegaskan bahwa Geopark Kaldera Toba, yang pada 2021 ditetapkan UNESCO sebagai bagian dari jaringan taman bumi dunia, sempat mendapat "kartu kuning" berupa peringatan akan lemahnya upaya pelestarian. Namun, ia yakin melalui FWELB, masyarakat Batak menunjukkan komitmennya untuk menjaga tiga pilar geopark secara utuh.

“Rumahela berdiri dalam sunyi, tapi lantang. Diam, tapi setia menjadi bagian dari perjuangan panjang menjaga Kaldera Toba. Ini bukan sekadar festival, tapi panggilan kepada generasi muda Batak untuk mencintai budayanya sendiri,” ucapnya.

Festival ini juga menjadi bagian dari promosi pariwisata budaya menjelang dua event internasional yang akan digelar di Samosir tahun ini: Aquabike Jet Ski World Championship (13–17 Agustus 2025) dan Ultra Trail du Mont Blanc (17–19 Oktober 2025).

Turut hadir dalam acara pembukaan, antara lain Pabung Kodim 0210/TU Mayor G. Sebayang, Penasehat Komunitas Rumahela Nurhayati Situmorang, Ketua Panitia Angelbertha Silalahi, Ketua Pelaksana Jabuhit Panjaitan, Ketua Komunitas Rumahela Diego Naibaho, serta pimpinan OPD, camat, kepala desa, dan komunitas budaya Rumahela dari berbagai daerah.

Festival ini bukan sekadar peristiwa seremonial. Ia adalah suara dari tanah Batak yang memanggil kembali anak-anaknya—untuk mengingat, merawat, dan meneruskan. Karena budaya yang hidup bukan yang dipajang, melainkan yang dijalankan dalam Festival ini bukan sekadar peristiwa seremonial. Ia adalah suara dari tanah Batak yang memanggil kembali anak-anaknya—untuk mengingat, merawat, dan meneruskan. Karena budaya yang hidup bukan yang dipajang, melainkan yang dijalankan dalam keseharian.(HS)***

Baca Juga :
Ketua SMSI Sumut Apresiasi Kinerja Polda Sumut di HUT Bhayangkara ke-79