oleh

Diduga Klaim Sepihak, Dinas Pariwisata Samosir Pasang Tong Sampah di Pantai Parbaba

-Daerah-167 views

Diduga Klaim Sepihak, Dinas Pariwisata Samosir Pasang Tong Sampah di Pantai Parbaba

Warga menilai pemasangan simbol kebersihan bukan bagian dari penataan, melainkan langkah awal pengambilalihan kawasan wisata yang telah dikelola secara turun-temurun.

SAMOSIR.Mitanews.co.id ||


Kisruh penataan kawasan wisata Pantai Pasir Putih Parbaba, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, kembali mencuat setelah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Samosir diduga melakukan klaim sepihak melalui pemasangan tong sampah di pintu masuk kawasan tersebut. Warga menduga simbol kebersihan itu hanya dalih untuk mengambil alih pengelolaan kawasan yang selama ini tumbuh berkat inisiatif masyarakat.

Pemasangan dilakukan secara diam-diam pada Rabu pagi, 2 Juli 2025, tanpa pemberitahuan atau sosialisasi kepada warga. Dua petugas terlihat menempatkan tong sampah berwarna mencolok bertuliskan “Kleen” tepat di bawah gapura pintu masuk. Tidak ada aktivitas perbaikan fasilitas atau penertiban lingkungan yang menyertai pemasangan tersebut.

“Ini bukan penataan, ini trik. Tong sampah itu cuma pembuka jalan untuk mengambil alih kawasan yang kami kelola sejak dulu,” ujar Esmi Sitanggang, salah satu pelaku usaha wisata di Parbaba, kepada wartawan, Kamis 3 Juli 2025.

Menurut Esmi, selama bertahun-tahun masyarakat telah membangun infrastruktur dan fasilitas wisata secara mandiri tanpa dukungan pemerintah. Mereka juga membayar retribusi secara rutin. Namun, pemerintah daerah baru muncul ketika kawasan tersebut berkembang dan ramai pengunjung.

“Modal usaha kami pinjam dari bank. Tanah ini warisan leluhur kami. Kami tidak pernah menghalangi pemerintah, tapi jangan datang hanya untuk mengklaim,” kata Esmi tegas.

RDP Tanpa Pelaku Usaha, Kejanggalan Muncul

Kecurigaan warga semakin kuat setelah DPRD Kabupaten Samosir menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait penataan kawasan wisata Parbaba tanpa mengundang pelaku usaha lokal. Dalam surat undangan RDP tertanggal 25 Juni 2025, tidak terdapat satu pun nama tokoh masyarakat atau pelaku usaha sebagai pihak yang diundang.

“Apa gunanya rapat berulang kali jika suara warga tidak didengar? Jangan bicara dari balik meja saja. Kami yang hidup dan berjuang di sini,” ujar Bina, warga setempat yang mengelola warung di kawasan pantai.

Bina juga menyebut bahwa sebagian warga memiliki sertifikat hak atas tanah, sementara lainnya memegang dokumen lama seperti besluit. Namun, dokumen-dokumen tersebut terkesan diabaikan oleh pihak pemerintah daerah.

Ironisnya, sebelum RDP dilaksanakan, warga sudah menerima surat dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Samosir. Surat tersebut berisi pemberitahuan penataan dan batas waktu yang ditentukan hingga 30 Juni 2025. Namun, RDP baru digelar setelah tenggat waktu itu berakhir.

“Surat penataan keluar lebih dulu, baru RDP digelar. Kami tidak dilibatkan. Ini bukan penataan, ini penyerobotan dengan legitimasi administratif,” ujar Esmi.

Simbolisasi Tanpa Substansi

Warga menilai pendekatan pemerintah dalam “penataan” kawasan hanya bersifat simbolik. Tong sampah yang dipasang bahkan tidak digunakan. Tidak ada upaya nyata dalam membenahi infrastruktur, sementara retribusi terus dipungut.

“Kalau tong sampah bisa dijadikan alasan klaim, nanti rumah kami pun bisa diklaim cuma karena ada bendera,” ucap seorang warga dengan nada sinis.

Parbaba selama ini berkembang sebagai destinasi wisata rakyat. Akses jalan masih terbatas, fasilitas publik banyak yang dibangun swadaya oleh warga. Tidak ada perhatian berarti dari pemerintah, kecuali pungutan retribusi dan belakangan ini, pemasangan simbol-simbol administratif.

Harapan Akan Dialog yang Jujur

Warga berharap pemerintah berhenti menggunakan pendekatan simbolik dan administratif tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemilik sah dan subjek utama pembangunan.

“Kalau Parbaba jatuh ke tangan yang salah, ini bukan sekadar kehilangan destinasi wisata. Ini pengkhianatan terhadap sejarah, budaya, dan kehidupan masyarakat Samosir,” kata Esmi.

Sejumlah warga menyatakan siap melakukan advokasi hukum dan menempuh jalur konstitusional jika hak-hak mereka terus diabaikan. Mereka juga meminta DPRD bersikap netral dan menjadi penyambung suara rakyat, bukan sekadar forum formalitas birokrasi.(HS)***

Baca Juga :
PTAR Gerakkan Aksi Ecobrick dari Hati: 10.000 Botol untuk Bumi

News Feed