oleh

Kacak Korban Dugaan Kriminalisasi, Jalan Kaki Menjemput Keadilan ke Istana

-Daerah-66 views

Kacak Korban Dugaan Kriminalisasi, Jalan Kaki Menjemput Keadilan ke Istana

MEDAN.Mitanews.co.id ||


Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, perjuangan seorang warga Tanjungbalai, Sumatera Utara, menghadirkan ironi di jalanan. Mahmudin, akrab disapa Kacak Alonso, berjalan kaki dari kampung halamannya menuju Jakarta.

Tujuannya satu, mengetuk pintu Istana Presiden dan Markas Besar Kepolisian RI, menyampaikan tuntutan atas dugaan kriminalisasi yang dialaminya.

Perjalanan itu bukan perkara mudah. Siang ia menghadapi terik, malam menahan dingin dan hujan. Dengan spanduk bertuliskan 'Korban Kriminalisasi Kompol DK' dan berselendangkan Merah Putih, Kacak melangkah pelan namun teguh.

"Hari ini sudah 16 hari saya berjalan, demi mencari keadilan di Mabes Polri dan di Kantor Presiden," ujar Kacak dari perbatasan Riau-Jambi, Senin 18 Agustus 2025.

Kacak menuding seorang perwira polisi di Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut, Kompol Dedi Kurniawan (DK), telah mengkriminalisasi dirinya.

Ia mengaku dilaporkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hanya karena menyebarkan rekaman penangkapan seorang warga bernama Rahmadi melalui pesan Aplikasi WhatsApp.

*Kisah Kacak Alonso, dari Membagikan Rekaman Penangkapan hingga Dijerat UU ITE*

Menurut Kacak, ia pernah dipanggil ke Polda Sumut dan diminta memilih menjadi saksi atau tersangka.

Dugaan kriminalisasi terhadap Mahmudin alias Kacak Alonso bermula dari sebuah video penangkapan terduga bandar narkoba di Tanjungbalai, 3 Maret 2025. Rekaman dari kamera pengawas toko pakaian itu ia bagikan ke sebuah grup WhatsApp.

"Setelah video saya bagikan, pihak kepolisian yang melakukan penangkapan keberatan," kata Kacak.

Ia mengaku diminta menghapus rekaman tersebut serta membuat video permintaan maaf. Menurutnya, permintaan itu dilakukan dalam kondisi tertekan.

Namun, video klarifikasi yang dibuatnya justru tersebar luas di media sosial.

"Itu merugikan saya. Padahal, saya sudah kooperatif hadir ke Polda Sumut untuk menjelaskan duduk persoalannya," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, kata Kacak, ia kembali diminta membuat video permintaan maaf, bahkan menyebut mobil polisi dirusak orang tak dikenal.

"Padahal saat kejadian saya ada di rumah," ucapnya.

Kacak sempat bertanya apakah urusannya sudah selesai. Menurut pengakuannya, seorang perwira menegaskan masalah dianggap tuntas.

Ia pun kembali ke Tanjungbalai dengan keyakinan persoalan sudah berakhir. Apalagi, kasus penangkapan Rahmadi, terduga bandar narkoba, telah disidangkan di Pengadilan Negeri Tanjungbalai.

Namun, akhir Juli 2025, ia kembali bertemu dengan Kompol DK, perwira Polda Sumut yang memimpin penangkapan Rahmadi. Pertemuan itu berlangsung tidak sengaja di Tanjungbalai.

"Saya langsung ditodong pertanyaan: kau mau jadi tersangka atau saksi?" kata Kacak menirukan ucapan perwira tersebut.

Kacak menolak menjadi saksi. "Saya sudah tertekan, makan pun tak sanggup. Psikologi saya terganggu," katanya.

Namun penolakannya berujung ancaman. "Ya sudah, besok kubuat laporanmu," ujarnya mengutip pernyataan Kompol DK.

Tak lama kemudian, laporan polisi dengan nomor LP/B/1233/VII/2025/SPKT/Polda Sumut terbit atas nama Kacak, dengan sangkaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Jangan sampai rakyat kecil yang ditekan hanya karena polisi gagal menangkap bandar narkoba," pungkas Kacak.

Kuasa hukum Kompol DK, Hans Silalahi, menegaskan laporan terhadap Kacak sah secara hukum.

Hans menilai video yang disebarkan kliennya menyesatkan dan mencemarkan nama baik.

Kasus ini menjadi sorotan publik karena penangkapan Rahmadi pun menuai kontroversi. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tanjungbalai, 14 Agustus 2025, keterangan dua polisi yang menangkap Rahmadi disebut tidak sinkron. Rahmadi bahkan bersikukuh dirinya dijebak.

Tak hanya Kacak, beberapa warga lain yang mengkritisi kasus ini juga dilaporkan Kompol DK. Mereka dianggap menebar fitnah lantaran menggelar aksi di depan Markas Polda Sumut menuntut pencopotan sang perwira.

Dengan langkahnya yang sederhana, Kacak membawa pesan besar yakni hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan alat penindas.

"Kemerdekaan 80 tahun ini jangan hanya jadi isapan jempol. Masih ada rakyat kecil yang dikriminalisasi oleh penguasa," katanya dengan suara bergetar.

Selain Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, ia juga berencana mendatangi Komisi III DPR RI serta DPD RI. Harapannya, suara rakyat kecil mendapat ruang di meja kebijakan.

Dalam perjalanan, Kacak kerap menyiarkan kisahnya melalui media sosial. Dukungan moral mengalir dari warganet, tetapi respons resmi dari institusi yang dituju belum terdengar.

Di dadanya, selalu tergenggam buku Paradoks Indonesia karya Presiden Prabowo. Buku itu, katanya, menjadi pengingat bahwa perjuangan menegakkan keadilan memang tidak pernah berhenti.

Langkah kaki Kacak menjadi simbol getir di tengah perayaan delapan dekade kemerdekaan.

"Maka dari itu, kami meminta kepada Bapak Presiden dan Bapak Kapolri untuk menyelesaikan persoalan rakyat kecil," tegasnya, sebelum meneriakkan, 'Merdeka!'

Di tengah peringatan 80 tahun kemerdekaan, perjalanan Kacak menjadi pengingat bahwa janji kemerdekaan belum sepenuhnya dirasakan masyarakat kecil.

Bahkan, kisah ini kembali mempertanyakan janji kemerdekaan, apakah hukum benar-benar tegak lurus, atau masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas?

Apalagi, perjalanan Kacak berlangsung di tengah euforia peringatan 80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Di kota-kota, bendera merah putih dikibarkan. Di istana, pejabat berbicara soal persatuan dan keadilan.

Namun di jalanan yang panas dan berdebu, seorang rakyat kecil bernama Kacak sedang berjalan, memanggul luka yang belum sembuh karena arogansi dan kesewenang-wenangan oknum Kompol DK.(mn.09)***

Baca Juga :
Bupati Sergai Lepas Ribuan Peserta Jalan Santai Cempedak Lobang

News Feed