oleh

Ketika Kayu Turun Bersama Air: Kritik Pedas Oloan Simbolon Soal Banjir Sibolga–Tapteng

-Daerah-207 views

Ketika Kayu Turun Bersama Air: Kritik Pedas Oloan Simbolon Soal Banjir Sibolga–Tapteng

SAMOSIR.Mitanews.co.id ||


Banjir besar yang kembali menerjang wilayah pesisir barat Sumatera Utara membawa lebih dari sekadar air bah. Arus deras yang menggulung gelondongan kayu ke tengah permukiman menandai adanya kerusakan hulu yang tak lagi bisa disembunyikan.

Bagi Oloan Simbolon, mantan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dan tokoh masyarakat Samosir yang dikenal tegas, apa yang terjadi kali ini adalah alarm nasional.

Dalam sesi wawancara khusus, Oloan tidak hanya memberi komentar. Ia memberi peringatan.

“Kalau Kayu Turun ke Kota, Itu Artinya Gunung Sudah Menangis”

Oloan Simbolon membuka pernyataannya dengan sebuah kalimat yang menusuk:

“Kalau gelondongan kayu bisa turun bersama banjir, itu bukan hujan. Itu gunung yang menangis karena dirusak.”

Menurutnya, banjir besar yang merusak sebagian wilayah Sibolga dan Tapteng bukanlah bencana alam biasa. Ini adalah akumulasi dari pembiaran, penebangan liar, alih fungsi lahan, dan lemahnya tata kelola lingkungan.

“Air tidak pernah berbohong. Kalau ia turun membawa lumpur dan kayu, itu tanda bahwa hulu sudah tidak punya daya topang. Itu tanda pemerintah tidak mengawasi,” tegasnya.

Kritik Keras: “Ini Bukan Cuaca Ekstrem, Ini Tata Kelola yang Gagal”

Bagi Oloan, menyalahkan cuaca ekstrem adalah narasi yang meninabobokan.

“Hujan memang deras. Tapi hujan hanya memperlihatkan apa yang sudah lama rusak. Masalahnya bukan cuaca, masalahnya tata kelola yang ambruk,” katanya.

Ia menegaskan bahwa banjir di Sibolga–Tapteng hanya puncak gunung es dari kerusakan ekosistem yang dibiarkan berlangsung bertahun-tahun:

Hutan gundul di hulu. Penebangan liar yang tidak disentuh hukum. Drainase yang tidak diperbarui. Sungai menyempit tanpa normalisasi.Pembangunan yang tidak menghormati peta rawan bencana.

“Banjir Bandang Itu Bukan Musibah, Itu Bukti Pembiaran”

Oloan menyebut bahwa banjir tidak boleh lagi dilihat sebagai peristiwa musiman yang diterima begitu saja.

“Ketika banjir terjadi dan membawa gelondongan, itu artinya ada yang tidak bekerja. Atau ada yang bekerja tetapi tidak semestinya,” ujarnya.

Ia menilai bahwa pemerintah daerah—bahkan pemerintah pusat—harus berhenti memberi solusi instan berupa bantuan darurat dan mulai memberikan solusi struktural.

Seruan Tegas ke Pemerintah: “Turun ke Hulu, Bukan Hanya ke Lokasi Banjir”

Dalam pandangan Oloan, penanganan pemerintah masih bersifat reaktif, bukan preventif.

Ia menuntut langkah konkret:

1. Audit total hulu sungai Sibolga–Tapteng. 2. Penertiban pembalakan liar tanpa kompromi. 3. Normalisasi sungai dan revitalisasi drainase kota.

4. Moratorium alih fungsi lahan di kawasan resapan. 5. Penegakan hukum yang membuat pelaku kerusakan lingkungan jera.

“Kalau pemerintah hanya datang setelah banjir, itu bukan kepemimpinan. Kepemimpinan itu mencegah, bukan meratap di lokasi bencana,” tegasnya.

Pandangan Akhir Oloan: “Sibolga–Tapteng Sedang Mengirim Pesan ke Seluruh Negeri”

Menurut Oloan Simbolon, tragedi banjir ini bukan hanya menjadi persoalan lokal. Ini adalah pesan untuk seluruh Indonesia tentang apa yang akan terjadi jika kerusakan hutan terus dibiarkan.

“Banjir di Sibolga dan Tapteng adalah gambaran masa depan Indonesia jika kita tidak berubah. Pertanyaannya, apakah bangsa ini mau belajar?”

“Air sudah bicara. Kayu sudah turun. Sekarang giliran pemerintah yang harus menjawab,"tutupnya.(HS)***

Baca Juga :
Pohon Tumbang, Sempat Hambat Akses Jalan di Tanjung Beringin