Komisi III DPR-RI Desak Sanksi untuk Kompol DK
JAKARTA.Mitanews.co.id ||
Tekanan agar Polri menindak Kompol Dedi Kurniawan (DK), perwira menengah di Polda Sumatera Utara, semakin menguat. Tiga anggota DPR-RI, dua di antaranya dari Komisi III yakni Nasir Djamil dan Mangihot Sinaga serta Ahmad Doli Kurnia Tanjung, mendesak agar DK diperiksa Propam dan dijatuhi sanksi tegas.
Dorongan itu muncul setelah mereka mendengar langsung kesaksian tiga pengurus Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sumut yang mengaku dikriminalisasi oleh DK. Pertemuan digelar Kamis, 11 September 2025, di Jakarta atas prakarsa LBH Gelora Indonesia.
"Kasus ini kental nuansa rekayasa dan kriminalisasi," ujar Direktur LBH Gelora, Ahmad Hafiz, Jumat, 12 September 2025.
Menurut Hafiz, anggota DPR dari Fraksi Golkar, Mangihot Sinaga, bahkan langsung menghubungi Kapolda Sumut, Irjen Whisnu Hermawan, saat pertemuan berlangsung.
Nasir Djamil dari PKS meminta korban segera mengajukan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Pak Nasir juga berjanji akan mendorong Kapolri agar Propam segera turun tangan," jelas Hafiz.
Para korban kriminalisasi itu adalah Mahmudin alias Kacak Alonso, warga Tanjungbalai, dan dua rekannya. Mereka menempuh Long March 39 hari dari Tanjungbalai ke Jakarta untuk mencari keadilan.
Kasus bermula dari unggahan Kacak di grup Aplikasi WhatsApp. Ia membagikan rekaman CCTV penangkapan seorang warga bernama Rahmadi oleh aparat Polda Sumut dalam kasus narkoba. Rekaman itu memperlihatkan adanya dugaan penganiyaan terhadap Rahmadi.
Setelah video itu beredar, Kacak mengaku ditekan Kompol DK agar menghapus unggahan tersebut. Ia juga dipaksa membuat video klarifikasi yang menyebut rekaman itu berasal dari seorang bandar narkoba berinisial N.
"Saya terpaksa menurut karena diancam akan dijadikan tersangka," ujar Kacak.
Bukan sekali. Ia mengaku diminta kembali membuat video klarifikasi kedua terkait dugaan perusakan mobil polisi. Semua diarahkan oleh DK.
"Saya diancam, kalau menolak, saya dijadikan tersangka," katanya.
Alih-alih kasus dugaan penganiayaan yang diusut, justru Kacak dan dua rekannya dilaporkan balik oleh DK dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Laporan itu diterima SPKT Polda Sumut dengan Nomor LP/B/1233/VII/2025/Polda Sumut, tertanggal 31 Juli 2025.
"Dua rekan Kacak yang ikut dilaporkan sama sekali tak ada kaitan. Mereka hanya mendampingi Long March ke Jakarta," kata Hafiz.
LBH Gelora menilai ada pola kriminalisasi yang sistematis. Aparat yang dilaporkan melakukan kekerasan justru membalikkan perkara dengan menggunakan pasal karet pencemaran nama baik.
Ketiga anggota DPR yang menerima laporan itu sepakat tindakan DK tak bisa ditoleransi. Mereka mendorong Polri menjatuhkan sanksi tegas, termasuk mutasi keluar dari Sumatera Utara.
"Kalau benar terjadi, layak dipindah ke Papua agar tidak lagi menimbulkan korban," ujar Hafiz, menirukan sikap para legislator.
Kasus ini menambah panjang daftar aduan warga terkait kriminalisasi aparat di Sumatera Utara. Pertanyaannya, sampai kapan pola serupa dibiarkan berulang tanpa ada evaluasi menyeluruh di tubuh kepolisian?
Sebelumnya, aktivis Kota Tanjungbalai yang akrab disapa Kacak Alonso ini mulai berjalan dari kampung halamannya menuju Jakarta untuk mencari keadilan menyusul dugaan kriminalisasi yang dilakukan oleh Kompol DK, oknum Direktortat Reseserse Narkoba Polda Sumut terhadapanya dalam kaitan kasus Rahmadi.
Dengan langkahnya yang sederhana, Kacak membawa pesan besar yakni hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan alat penindas.
Kacak sendiri memulai Langkah kecilnya dari kota asalnya menuju Jakarta pada hari Sabtu, 2 Agustus 2025 dengan tujuan bertemu Presiden RI, Prabowo Subianto, Kapolri dan Anggota Komisi III DPR-RI serta Kompolnas.(mn.09)***
Baca Juga :
Konflik Lahan di TPL, Bupati Tapsel Konsen Bela Kepentingan Rakyat