oleh

Sengketa Lahan SMK Pariwisata Tuktuk Memanas, Mediasi di Kantor Lurah Simanindo Gagal Capai Titik Temu

-Daerah-160 views

Sengketa Lahan SMK Pariwisata Tuktuk Memanas, Mediasi di Kantor Lurah Simanindo Gagal Capai Titik Temu

SAMOSIR.Mitanews.co.id ||


Upaya mediasi antara keluarga ahli waris Ambarita dan pihak-pihak terkait sengketa lahan pembangunan gedung hotel SMK Pariwisata Tuktuk, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, berakhir tanpa hasil. Mediasi yang digelar di Kantor Lurah Tuktuk pada awal pekan ini berlangsung tegang, dan tak membuahkan kesepakatan.

Keluarga ahli waris, yang diwakili Clara Ambarita dan Emerita Ambarita, menuntut agar seluruh kegiatan pembangunan di atas lahan seluas 200 x 250 meter persegi itu dihentikan sementara, hingga persoalan kepemilikan tanah memperoleh kepastian hukum.

“Kami adalah ahli waris sah dari almarhum Bismar Ambarita br. Siringoringo. Tanah ini milik orang tua kami, dan tidak pernah kami serahkan kepada pemerintah atau pihak sekolah mana pun,” tegas Clara Ambarita dalam pernyataannya kepada wartawan usai mediasi, Senin (16/9/2025).

Klaim Kepemilikan Berdasarkan Putusan Hukum

Clara menjelaskan bahwa lahan yang kini dijadikan lokasi pembangunan fasilitas sekolah kejuruan pariwisata itu sebelumnya pernah menjadi objek sengketa antara pihak keluarga dengan kelompok Firman Sidabutar sejak tahun 1979. Sengketa tersebut, kata Clara, telah berakhir dengan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung pada tahun 1997, yang memenangkan pihak Bismar Ambarita sebagai pemilik sah.

“Namun, anehnya, sampai hari ini tidak pernah dilakukan eksekusi terhadap putusan itu. Justru muncul sertifikat hak pakai yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Samosir pada tahun 2008, tanpa sepengetahuan kami selaku ahli waris. Kami menduga kuat ada permainan mafia tanah di balik ini,” tambahnya.

Pihak keluarga pun mempertanyakan legalitas penerbitan sertifikat tersebut dan menuntut agar pihak-pihak terkait, termasuk pejabat BPN yang menerbitkannya, diperiksa secara hukum.

Penyangkalan dan Versi Berbeda dari Warga Setempat

Sementara itu, Bernad Sidabutar, warga setempat yang juga hadir dalam mediasi, membantah adanya konflik tanah di wilayah tersebut. Ia menyebut bahwa masyarakat lokal selama ini tidak pernah mempermasalahkan keberadaan sekolah ataupun pembangunan di atas lahan itu.

“Yang disebut-sebut dalam sengketa itu justru bukan lagi warga sini. Mereka sudah lama pindah ke daerah lain, seperti Sidamanik. Menurut kami, kemungkinan besar tanah itu dulu diserahkan oleh orang tua kami pada masa pemerintahan Kabupaten Tapanuli Utara sebelum pemekaran wilayah,” ujar Bernad.

Namun, klaim tersebut langsung dibantah Clara Ambarita yang menyebut bahwa akar persoalan baru muncul pada 2008, ketika pembangunan gedung SMK Pariwisata dimulai.

“Jadi tidak nyambung kalau dibilang ini urusan zaman orang tua kami dulu. Masalah ini muncul sejak ada pembangunan di 2008. Itulah yang perlu kita luruskan. Kami pemilik sah seolah-olah dikondisikan untuk menerima begitu saja,” ujar Clara dengan nada kecewa.

Pemerintah Desa: Bukan Kewenangan Kami

Lurah Tuktuk, Erwin Sidabutar, yang memfasilitasi mediasi, menegaskan bahwa pihak kelurahan tidak memiliki kewenangan menentukan siapa pihak yang berhak atas lahan tersebut. Ia menyarankan agar persoalan ini diselesaikan melalui jalur hukum.

“Kedua belah pihak sama-sama memiliki dokumen dan sertifikat. Kami hanya memediasi agar tidak terjadi konflik terbuka di masyarakat. Soal legalitas dan kepemilikan, itu ranahnya pengadilan,” ujar Erwin.

Akan Tempuh Jalur Hukum

Merasa tidak menemukan titik terang dalam mediasi, pihak keluarga Ambarita menyatakan akan mengajukan permohonan eksekusi lahan ke pengadilan. Mereka juga menyayangkan tindakan yang sudah dilakukan di lapangan, seperti penebangan pohon kemiri yang mereka klaim sebagai milik pribadi.

“Negara ini berdasarkan hukum. Pemerintah hadir untuk menyejahterakan rakyat, bukan mengambil alih hak rakyat secara sepihak. Kami akan tempuh jalur hukum untuk menegakkan keadilan,” tutup Clara Ambarita.

Sengketa ini menambah daftar panjang persoalan agraria di Tanah Batak, yang kerap melibatkan warisan adat, konflik keluarga.(HS)***

Baca Juga :
Bupati dan Wabup Sergai Terima Audiensi Kelompok Masyarakat untuk Sinergi Pembangunan

News Feed