Syarikat Islam dan 120 Tahun Perjuangan Ekonomi Ummat Indonesia
Oleh: Rizqi Almaajid
MEDAN.Mitanews.co.id ||
Seratus dua puluh tahun telah berlalu sejak Haji Samanhudi mendirikan Syarikat Dagang Islam pada tahun 1905 di Surakarta. Dalam catatan sejarah bangsa, kelahiran organisasi ini menjadi salah satu tonggak kebangkitan ekonomi umat Islam Indonesia. Saat itu, para pedagang pribumi tertindas oleh sistem ekonomi kolonial dan dominasi pedagang asing. Haji Samanhudi memulai gerakan ini bukan dengan senjata, tetapi dengan semangat persaudaraan dan kemandirian ekonomi.
Dari sinilah benih besar itu tumbuh. Di tangan H.O.S. Tjokroaminoto, Syarikat Dagang Islam menjelma menjadi Syarikat Islam bukan hanya organisasi dagang, tetapi juga gerakan sosial, politik, dan pendidikan umat. SI mengajarkan bahwa kekuatan ekonomi bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana menuju kemerdekaan dan kedaulatan umat.
Tema milad ke-120, “Ekonomi Kuat, Ummat Berdaulat”, sesungguhnya bukan slogan baru. Ia adalah ruh lama yang hidup kembali, cita-cita yang pernah dirumuskan oleh para pendiri SI di awal abad ke-20. Mereka sadar bahwa penjajahan terbesar bukan hanya penguasaan tanah dan pemerintahan, tetapi penguasaan ekonomi yang membuat umat kehilangan harga diri dan kemandirian.
Kemandirian ekonomi menjadi basis perjuangan politik dan sosial. Tjokroaminoto pernah berkata, “Siapa yang menguasai ekonomi, dialah yang berkuasa.” Kalimat itu tetap relevan hingga kini. Dalam era globalisasi dan ekonomi digital, umat Islam Indonesia menghadapi bentuk penjajahan baru, ketergantungan ekonomi, konsumtifisme, dan pengabaian terhadap kekuatan produksi lokal.
Maka, refleksi milad ke-120 harus menjadi ajakan moral: mengembalikan semangat ekonomi syarikat yang berpijak pada nilai tauhid, kejujuran, dan gotong royong. Gerakan koperasi, ekonomi berbasis masjid, kewirausahaan sosial, hingga ekonomi digital yang berkeadilan, semuanya merupakan wujud nyata dari gagasan “ekonomi kuat” yang berorientasi pada kemaslahatan umat.
“Ekonomi Kuat, Ummat Berdaulat” bukan hanya visi organisasi, melainkan panggilan sejarah. Di tengah krisis moral dan ketimpangan sosial, umat Islam harus menjadi pelaku, bukan hanya penonton. Syarikat Islam perlu kembali menjadi pelopor, bukan sekadar saksi dalam perjuangan kemandirian ekonomi bangsa.
Seratus dua puluh tahun SI adalah perjalanan panjang dari toko kain di Laweyan menuju kesadaran nasional yang membangkitkan semangat kemerdekaan. Kini, semangat itu harus diwujudkan dalam bentuk baru: ekonomi yang kuat, beretika, dan berkeadilan.
Syarikat Islam telah membuktikan bahwa perjuangan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari perjuangan spiritual dan kebangsaan. Bila ekonomi umat kuat, maka kedaulatan bangsa akan tegak. Bila ekonomi umat rapuh, maka martabat bangsa pun mudah tergadai.
Selamat Milad ke-120 Syarikat Islam. Mari lanjutkan cita-cita Tjokroaminoto dan Samanhudi: membangun ekonomi yang kuat demi umat yang berdaulat. Dari sejarah kita belajar, dari semangat kita berjuang.(Ali)