oleh

Warga Empat Desa di Simanindo Serukan Aksi Damai: Soroti Dugaan Pelanggaran Lingkungan, Ketimpangan Sosial, dan Tata Kelola Hutan

-Peristiwa-131 views

Warga Empat Desa di Simanindo Serukan Aksi Damai: Soroti Dugaan Pelanggaran Lingkungan, Ketimpangan Sosial, dan Tata Kelola Hutan

SAMOSIR.Mitanews.co.id ||


Sekitar 300 warga dari empat desa di Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, menggelar aksi damai di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Samosir, Selasa 30 September 2024.

Massa menyuarakan berbagai tuntutan terkait dugaan pelanggaran lingkungan, ketimpangan sosial dalam tata kelola hutan, serta ketidakadilan penegakan hukum di wilayah Ke-negerian Ambarita.

Aksi yang berlangsung tertib ini dipimpin oleh Irwan Liberti Sinaga, Melani Butarbutar perwakilan masyarakat sekaligus koordinator aksi. Dalam orasinya, Irwan mengungkapkan sejumlah permasalahan serius yang terjadi di wilayah adat Ambarita, mulai dari penyalahgunaan kawasan hutan lindung, pengabaian peran masyarakat adat, hingga dugaan praktik hukum yang tebang pilih oleh aparat penegak hukum.

Polemik Dumas dan Praktik Hukum yang Dinilai Tidak Adil

Warga menyayangkan lambannya respons kepolisian terhadap laporan dugaan galian C ilegal, yang menurut mereka telah merusak struktur tanah dan mengancam keselamatan permukiman di sekitar lereng bukit. Sementara itu, laporan dari kelompok tani hutan justru cepat ditindaklanjuti oleh aparat, meskipun menyasar aparat desa dan tokoh masyarakat.

“Kadus kami bahkan diminta ganti rugi hingga Rp48 juta oleh ketua kelompok tani hanya karena mengamankan barang permintaan warga. Saat kami adukan hal ini, tak ada tindak lanjut berarti. Ini bentuk ketidak adilan,” kata Irwan dalam orasinya.

Aktivitas Penyadapan Pinus Diduga Langgar SOP dan Ancam Lingkungan

Salah satu sorotan utama warga adalah aktivitas penyadapan getah pinus di kawasan hutan perbukitan Ambarita dengan kemiringan ekstrem antara 30 hingga 80 derajat. Aktivitas tersebut diduga melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP) dan berpotensi menimbulkan bencana ekologis.

“Tanah tidak lagi mampu menyerap air. Dalam setahun, sudah dua kali banjir bandang menerjang Desa Unjur dan Desa Martoba. Jalan nasional tertutup, rumah warga terendam. Ini alarm keras akan bencana ekologis,” tegas Irwan.

Secara regulasi, pengelolaan hutan harus merujuk pada:

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menegaskan bahwa hutan memiliki fungsi konservasi, lindung, dan produksi. Aktivitas yang mengganggu keseimbangan lingkungan di kawasan hutan lindung merupakan pelanggaran.

Permen LHK No. P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, yang mewajibkan adanya pelibatan masyarakat lokal secara aktif dalam pengelolaan hutan sosial.

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur prinsip kehati-hatian dalam kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan.

Keluhan atas Praktik Diskriminatif dan Tidak Transparan dalam Pengelolaan Hutan

Warga menyampaikan keberatan atas sikap kelompok tani hutan Koperasi Parna Raya Sejahtera yang dianggap tidak transparan dan tidak menghargai hak masyarakat adat. Dari 27 anggota koperasi, hanya dua yang merupakan warga Ambarita, satu di antaranya telah meninggal dunia.

“Kami tidak kenal mereka. Mereka beraktivitas bahkan melarang warga lokal masuk ke area penyadapan. Ini tanah adat kami, hutan bius berampat warisan nenek moyang,” ujar salah satu tokoh adat bermarga Sialagan.

Hal ini melanggar prinsip perhutanan sosial yang menempatkan masyarakat lokal sebagai subjek utama. Selain itu, dalam Perda Kabupaten Samosir No. 5 Tahun 2021 ditegaskan bahwa setiap tamu atau pendatang yang tinggal lebih dari 24 jam wajib melapor ke kepala desa atau lurah. Namun, menurut warga, aturan ini kerap diabaikan oleh kelompok luar yang beraktivitas di hutan.

Pembangunan Hunian dan Pembukaan Jalan di Kawasan Hutan

Selain penyadapan, warga juga melaporkan dugaan aktivitas pembukaan jalan, pembangunan rumah tinggal, dan penebangan liar di kawasan hutan yang diduga kuat belum memiliki izin sesuai dengan ketentuan.

Menurut UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, setiap aktivitas pembukaan lahan dan pembangunan di kawasan hutan tanpa izin resmi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana lingkungan dan dapat dipidana hingga 15 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.

Tanggapan DPRD Samosir: Akan Fasilitasi RDP

Ketua DPRD Samosir, Nasib Simbolon, menemui para pengunjuk rasa dan menyatakan bahwa pihaknya menerima seluruh aspirasi warga. Namun, ia menegaskan bahwa sebagian kewenangan berada di tangan pemerintah provinsi dan kementerian.

> “Kami akan agendakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan menghadirkan perwakilan warga, pihak KPH XIII Dolok Sanggul, Pemerintah Provinsi Sumut, dan DPRD. Aspirasi ini sah dan akan kami kawal,” kata Nasib Simbolon di hadapan massa.

Urgensi Penataan Tata Kelola Hutan Berbasis Masyarakat Adat

Konflik di Ambarita bukan sekadar perseteruan kelompok, melainkan potret buruknya penataan pengelolaan hutan yang abai terhadap hak masyarakat adat. Di era di mana pendekatan “Community-Based Forest Management” telah diakui secara global, peran masyarakat adat seharusnya tidak diabaikan.

Pengakuan hak adat telah ditegaskan melalui:

Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara.

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengakui desa adat sebagai subjek hukum.

Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) yang telah diratifikasi secara prinsip oleh Indonesia.

Saatnya Mengedepankan Dialog dan Keadilan Sosial

Aksi damai warga Simanindo ini bukan sekadar perlawanan, melainkan jeritan atas ketimpangan sosial dan ekologis yang semakin nyata. Keterlibatan semua pihak secara inklusif dan bermartabat adalah satu-satunya jalan menuju keadilan ekologis dan sosial di tanah Batak yang kaya akan kearifan lokal ini.(HS)***

Baca Juga :
Wabup Sergai Terima Audiensi, Tingkatkan Sinergi dengan TNI, Polri, dan Tokoh Agama

News Feed