oleh

Ketika “Kerja Sama” Tak Melibatkan Suara Masyarakat Sengketa Lahan Warisan Bisa Terjadi

-Daerah-1,267 views

Ketika “Kerja Sama” Tak Melibatkan Suara Masyarakat Sengketa Lahan Warisan Bisa Terjadi

SAMOSIR.Mitanews.co.id ||


Tim jurnalis Kabupaten Samosir mendatangi Kantor Desa Partuko Naginjang, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir, guna melakukan klarifikasi atas pernyataan salah satu warga bernama Eli Sinaga, yang sebelumnya mengaku telah menyerahkan lahan warisan keluarganya untuk dikelola bersama investor dan warga desa, selasa 7 Oktober 2025.

Dalam pernyataannya kepada jurnalis, Eli Sinaga menyebut bahwa dirinya adalah keturunan keenam dari Opung Rikar Sinaga, yang telah menguasai lahan seluas lebih dari 10 hektare sejak 1908. Ia menyatakan bahwa lahan tersebut saat ini tengah dikelola bersama pihak pemodal, dan hasilnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, khususnya melalui pembukaan lapangan kerja di sektor perkebunan.

“Ini kerja sama antara ahli waris dan masyarakat, bukan penyerahan kepemilikan. Lahan ini akan dikelola selama lima tahun dan tidak akan berpindah tangan,” ujar Eli Sinaga saat pertemuan yang juga dihadiri langsung oleh Kepala Desa dan sejumlah tokoh masyarakat.

Kepala Desa: Belum Ada Surat Resmi

Menanggapi klaim tersebut, Kepala Desa Partuko Naginjang, Sahat Sinaga, menyatakan bahwa lahan yang dimaksud memang sudah lama dikelola oleh keluarga Eli Sinaga dan kini telah berubah fungsi menjadi perkebunan.

“Secara fisik, lahan itu memang sudah gundul, tidak ada lagi hutan. Tapi hingga saat ini, belum ada pemberitahuan resmi atau surat tertulis ke pihak desa terkait keterlibatan pemodal atau bentuk kerja sama dengan masyarakat,” tegas Sahat.

Meskipun mengapresiasi inisiatif masyarakat untuk mengelola lahan secara produktif, Sahat mengingatkan pentingnya prosedur administratif agar tidak terjadi konflik di kemudian hari.

Tokoh Masyarakat: Jangan Timbulkan Masalah Baru

Peringatan lebih keras datang dari tokoh masyarakat sekaligus pegiat lingkungan, Boris Situmorang. Ia menekankan bahwa pemerintah desa tidak boleh pasif terhadap aktivitas ekonomi yang mengatasnamakan masyarakat tanpa melalui mekanisme yang transparan.

“Kalau memang untuk kemakmuran rakyat, harus dibuktikan dengan musyawarah desa, keterlibatan warga, dan dokumen yang sah. Jangan sampai satu-dua orang bertindak mengatas namakan desa, lalu masyarakat malah dirugikan di kemudian hari,” kata Boris.

BPD: Tidak Ada Musyawarah, Warga Tidak Tahu

Lebih lanjut, Ketua BPD Partuko Naginjang, Gorman Sinaga, menyampaikan hasil konfirmasi mereka kepada masyarakat desa. Berdasarkan pengumpulan keterangan, BPD menyimpulkan bahwa tidak ada musyawarah resmi atau informasi terbuka yang diberikan kepada warga sebelum lahan dikerja samakan dengan pihak luar.

Gorman menyampaikan enam poin penting hasil konfirmasi:

1. Apakah warga mengetahui isi surat pernyataan atas nama Eli Sinaga?
❌ Tidak.

2. Apakah pernah ada pengumpulan warga untuk membahas kerja sama lahan?
❌ Tidak.

3. Apakah ada keberatan dari masyarakat terhadap aktivitas pengelolaan lahan?
✅ Ada.

4. Apakah masyarakat mengetahui bahwa hasil pengelolaan untuk kesejahteraan bersama?
❌ Tidak.

5. Apa dampak terhadap masyarakat desa?
❗ Lahan tersebut seharusnya bisa dikelola melalui BUMDes, bukan untuk kepentingan pribadi.

6. Apakah surat pernyataan tersebut pernah dikonfirmasi kepada seluruh masyarakat desa?
❌ Tidak.

📚 Edukasi Hukum: Kekuatan Hukum dan Risiko Pengelolaan Lahan Tanpa Persetujuan Publik

1. Status Kepemilikan Tanah Harus Jelas

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), status kepemilikan tanah harus dibuktikan melalui sertifikat, akta waris, atau surat keterangan tanah yang diakui negara. Klaim sebagai ahli waris secara lisan tanpa dokumen tidak cukup kuat dalam hukum.

Jika lahan tersebut merupakan tanah adat atau warisan, maka harus ada:

Bukti tertulis penguasaan turun-temurun.

Pengakuan dari komunitas adat atau warga desa.

Pengetahuan dan pencatatan oleh pemerintah desa.

2. Kerja Sama Usaha Harus Melalui Musyawarah Desa

UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Permendagri No. 44 Tahun 2016 mengatur bahwa:

Setiap bentuk kerja sama dengan pihak ketiga yang menggunakan tanah atau aset desa harus melalui Musyawarah Desa.

Keputusan kerja sama wajib dicatat dalam berita acara, disahkan oleh BPD, dan diberitahukan ke seluruh warga.

3. Peran BUMDes Dalam Pengelolaan Aset Desa

Bila lahan tersebut hendak dimanfaatkan untuk usaha bersama, idealnya dikelola melalui BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Pengelolaan melalui BUMDes lebih menjamin:

Transparansi pendapatan.

Pembagian hasil yang adil.

Perlindungan hukum terhadap warga desa.

4. Risiko Hukum

Jika pengelolaan lahan dilakukan:

Tanpa dokumen legal,

Tanpa persetujuan masyarakat,

Tanpa keterlibatan pemerintah desa dan BPD,

maka kegiatan tersebut berpotensi digugat secara perdata.

🔍 Penutup:

Keterlibatan pihak luar dalam pengelolaan tanah desa bukanlah hal yang dilarang. Namun, kebermanfaatannya harus dijamin melalui mekanisme demokratis dan legalitas formal. Pengelolaan tanpa keterlibatan seluruh warga dan tanpa kejelasan status kepemilikan, berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan kerugian kolektif di kemudian hari.

Sebagaimana nilai luhur dalam adat Batak menyebutkan:

"Horas dope horas, molo marsituhu roha."
(Semuanya akan menjadi baik, bila ada kesepakatan yang jujur dari hati).(HS)***

Baca Juga :
Wabup Sergai Tekankan Sinergi Eksekutif–Legislatif untuk Wujudkan Pembangunan

News Feed