Masa Kecil Pj Gubsu Agus Fatoni di Mata Guru Sepuh Sumiati: Inspirasi dari Kampung Sukabumi
Mitanews.co.id ||
Di sebuah kampung terpencil di ujung Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung, seorang guru sepuh masih menyimpan kenangan tentang salah satu murid terbaiknya. Hj. Sumiati, S.Pd., kini selalu tersenyum penuh kebanggaan setiap kali mendengar nama Dr H Agus Fatoni, anak kecil yang dulu diajarnya di Taman Kanak-Kanak, kini menjabat sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Sumatera Utara dan pejabat tinggi di Kementerian Dalam Negeri.
Ketika ditemui di rumahnya di Kampung Sukabumi di Kecamatan Buay Bahuga, berbatasan langsung dengan Sumatera Selatan, Kamis (6/2/25) mata Sumiati tampak berbinar penuh kebanggaan sekaligus haru. Sesekali, tangannya menyeka mata yang basah berkaca-kaca. “Fatoni itu murid saya di TK, lalu juga di kelas 1 SD tahun 1979. Dia anak yang berbeda sejak kecil,” katanya dengan suara bergetar.
Sebagai satu-satunya guru TK di Kampung Sukabumi saat itu, Hj. Sumiati bisa melihat dengan jelas bahwa Fatoni bukan anak biasa. Ia pendiam, tetapi memiliki rasa ingin tahu yang besar. Saat teman-temannya sibuk bermain di halaman sekolah, Fatoni lebih suka duduk di dalam kelas, memperhatikan pelajaran dengan serius.
“Saya masih ingat, Fatoni sering bertanya hal-hal yang tidak biasa untuk anak seusianya. Dia pernah bertanya, ‘Bu Guru, kalau saya ingin sekolah tinggi, saya harus bagaimana?’” kenang Hj. Sumiati dengan senyum bangga mengenang Fatoni kecil kelahiran kampung itu 6 Juni 1972.
Sejak hari pertama masuk sekolah, Fatoni kecil sudah menunjukkan karakter yang istimewa. Ia selalu datang dengan pakaian rapi, bersih, dan bersepatu biru khas anak sekolah desa. “Kulitnya putih, rapi sekali, dan selalu menjaga kebersihannya. Tidak seperti kebanyakan anak-anak yang sering bermain kotor di tanah, Fatoni tetap menjaga penampilannya bersih,” kenang Sumiati.
Namun, bukan hanya penampilannya yang menarik perhatian. Fatoni kecil memiliki rasa ingin tahu yang besar. Ia tidak pernah ragu bertanya tentang banyak hal, menunjukkan kecerdasan serta semangat belajar yang luar biasa. “Matanya selalu berbinar saat bertanya, pandangannya optimis, tapi sikapnya penuh hormat kepada guru. Itu yang membuatnya berbeda,” ujar Sumiati.
Perjalanan menuju sekolah bagi Fatoni tidaklah mudah. Ia harus berjalan kaki dari rumahnya, melewati jalanan tanah dan persawahan. Ini tidak menyurutkan semangatnya untuk sekolah. Bahkan kata Sumiati, ketika SMP Fatoni bersepeda sejauh tujuh kilometer. Namun, sejak TK tidak sekalipun ia mengeluh. Dengan penuh keikhlasan, ia menjalani hari-harinya di sekolah dengan semangat dan disiplin tinggi.
*Mimpi dari Kampung Terpencil*
Fatoni berasal dari keluarga sederhana yang religius. Ayah dan kakeknya dikenal sebagai tokoh agama di desa itu. Sumiati sendiri merasakan kedalaman nilai-nilai religius yang melekat pada Fatoni. “Saya ini dulu juga murid mengaji dari neneknya. Jadi saya tahu betul bagaimana lingkungan keluarganya yang sangat religius,” katanya sambil tersenyum haru.
Di sekolah yang penuh keterbatasan sarana, Sumiati dan para guru lainnya berusaha mendidik anak-anak dengan segala cara yang mereka bisa. Mereka memanfaatkan alam sebagai ruang belajar.
“Saat kami mengajak anak-anak berjalan-jalan ke sawah, Fatoni selalu berada di barisan depan. Dengan gagah, dia memimpin teman-temannya sambil bernyanyi ‘Kodok Ngorek, Kodok Ngorek’ dengan suara lantangnya,” cerita Sumiati sembari tertawa kecil mengenang sosok bocah lugu itu.
Ada satu hal yang paling diingatnya: selama di TK hingga SD, Fatoni tidak pernah sekalipun berkelahi dengan teman sebayanya. “Dia itu pandai bergaul, sangat rukun dengan teman-temannya. Tidak pernah saya melihat dia berkelahi. Itu menunjukkan karakter kepemimpinan yang matang sejak kecil,” ujar Sumiati.
Selain rajin belajar, Fatoni juga menyukai musik anak-anak. Lagu ‘Kepala Pundak Lutut Kaki’ adalah favoritnya. “Setiap kali ada kesempatan, dia pasti menyanyikan lagu itu dengan ceria. Gaya bernyanyinya menggemaskan, dan saya sudah bisa melihat bahwa dia punya jiwa pemimpin,” kenang Sumiati.
Kampung Sukabumi bukanlah kampung yang mudah dijangkau. Hingga saat ini, untuk mencapai kampung ini dari Bandar Lampung melalui jalur non-tol, seseorang harus menempuh perjalanan sejauh 250-270 km, dengan waktu tempuh lebih dari 7-8 jam, melewati jalanan berliku dan sebagian masih belum beraspal dengan baik.
Pada era 1970-an, kondisi jauh lebih sulit. Jalan desa masih berupa tanah merah yang saat hujan berubah menjadi kubangan lumpur. Tidak ada kendaraan umum yang rutin masuk ke kampung ini. Warga yang ingin pergi ke Bandar Lampung atau Tanjungkarang harus menumpang truk pengangkut hasil bumi atau berjalan kaki berjam-jam menuju jalan besar sebelum mendapatkan kendaraan.
Di kampung yang didominasi oleh petani ini, sekolah tinggi merupakan impian dan kebanggan bisa mampu meraihnya. Sebagian besar anak-anak lebih banyak membantu orang tua di sawah dan ladang. Karena bagi mereka, keluar dari kampung saja sudah seperti mimpi. Namun, Agus Fatoni kecil berbeda.
*Disiapkan untuk Sekolah Tinggi*
Sejak kecil, Fatoni memang sudah dipersiapkan oleh ayahnya untuk bersekolah setinggi mungkin. Ayahnya tidak melibatkan anak-anaknya ke ladang, ayah Fatoni melatihnya dengan disiplin untuk belajar. Buku-bukunya selalu rapi, dan dia selalu datang ke sekolah lebih awal.
“Saat anak-anak lain masih bermain dan ada yang di lumpur sepulang sekolah, Fatoni sudah duduk di rumah membaca buku. Orang tuanya memang mendisiplinkan pendidikan sebagai jalan hidupnya,” tambah Sumiati.
Keputusan terbesar dalam hidupnya terjadi ketika ia lulus SMP. Saat itu, tidak banyak anak Kampung Sukabumi yang berani melanjutkan sekolah ke luar daerah. Tapi Fatoni memberanikan diri untuk merantau ke Bandar Lampung dan bersekolah di SMA Negeri 1 yang ternama di sana.
“Itu keputusan yang luar biasa berani. Keluar dari kampung saat itu bukan hal yang mudah. Jalan buruk, biaya mahal, dan belum tentu ada tempat tinggal. Tapi Fatoni tetap pergi dengan keyakinan bahwa pendidikan adalah masa depannya,” ujar Hj. Sumiati dengan suara haru.
Bertahun-tahun berlalu, dan nama Agus Fatoni semakin dikenal luas. Dari seorang anak kampung, ia kini menjadi pejabat eselon I di Kementerian Dalam Negeri, pernah menjadi Pj Gubernur di tiga provinsi, dan saat ini memimpin sebagai Pj Gubernur Sumatera Utara—salah satu provinsi terbesar di Indonesia.
Ketika kabar itu sampai ke Kampung Sukabumi, Hj. Sumiati menangis haru. “Rasanya seperti mimpi. Anak yang dulu saya ajar di TK, kini menjadi pemimpin besar di negeri ini,” katanya.
Kini, setiap kali ada acara sekolah di Kampung Sukabumi, kisah Fatoni selalu menjadi bahan motivasi bagi anak-anak. Guru-guru akan berkata kepada murid-muridnya, “Jika Fatoni bisa, kalian juga bisa!”
Kampung Sukabumi mungkin masih terpencil, tetapi harapan di sana kini lebih besar. Jika dulu anak-anak hanya bermimpi, kini mereka tahu bahwa dengan pendidikan dan kerja keras, mereka juga bisa mengikuti jejak Fatoni.
“Dulu, tidak ada yang percaya anak Kampung Sukabumi bisa menjadi orang besar. Tapi Fatoni membuktikan bahwa batasan itu tidak ada. Dia adalah bukti bahwa mimpi bisa menjadi kenyataan,” ujar Hj. Sumiati dengan bangga.
Kini, di sekolah-sekolah Kampung Sukabumi, jika anak-anak menggambar cita-cita mereka, mereka tidak lagi hanya menggambar sawah dan ladang. Mereka mulai menggambar gedung tinggi, ruang kantor, dan seorang pemimpin berbaju dinas.
Mereka tahu, di suatu tempat di Jakarta, ada seseorang yang dulu berasal dari kampung mereka—Agus Fatoni, anak kecil yang dulu duduk di bangku TK dengan penuh mimpi, dan kini telah mewujudkan semuanya.
*Mengubah Mimpi Menjadi Kenyataan*
Kini, setiap kali mendengar nama Agus Fatoni, hati Sumiati dipenuhi kebanggaan. Ia sering menggunakan kisah Fatoni sebagai motivasi bagi anak-anak di desanya. “Saya selalu bilang ke murid-murid saya, meskipun kalian berasal dari desa terpencil, jangan pernah takut bermimpi besar. Pak Fatoni itu buktinya. Kalau dia bisa, kalian juga bisa!” katanya penuh semangat.
Lebih dari sekadar inspirasi bagi anak-anak Kampung Sukabumi, kisah Fatoni adalah teladan bagi seluruh anak di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil. “Tidak peduli seberapa jauh kita dari kota, dengan belajar, disiplin, dan karakter kuat, siapa pun bisa menjadi orang besar,” tambahnya.
Sebelum mengakhiri perbincangan, Sumiati kembali menyeka matanya. Dengan suara penuh harapan, ia berkata, “Saya berdoa agar Fatoni selalu diberikan keberkahan, sukses dalam karier, menjadi pemimpin yang amanah, dan terus membawa kebaikan bagi negeri ini. Tetap bertawakal ke hadirat Allah SWT. Saya bangga sekali menjadi bagian dari kisahnya. Sebuah kisah kecil dari desa terpencil, yang kini menjadi inspirasi besar bagi banyak orang di negeri ini”. *(zulfikar tanjung)***
Baca Juga :
Nyambi Jual Sabu, Nelayan Kampung Baru Nagur Ditangkap