Orkestra Komunikasi di Jantung Tambang: Inovasi Tak Terlihat di Balik Keberlanjutan Martabe
Oleh Ir Zulfikar Tanjung
Mitanews.co.id ||
Kabut pagi masih menggantung di perbukitan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan. Di kejauhan, cahaya keemasan memantul di dinding tebing yang basah oleh embun. Di tengah lanskap itu, berdiri kawasan Tambang Emas Martabe — salah satu tambang emas terbesar di Asia Tenggara, sekaligus yang paling “hijau” di antara sejenisnya.
Namun, keindahan itu bukan hanya hasil teknologi canggih atau alat berat yang berbaris rapi. Di balik heningnya hamparan reklamasi hijau, ada hal lain yang bekerja lebih dalam — sesuatu yang tak selalu terlihat oleh mata, tetapi terasa oleh mereka yang hidup di sekitarnya: sistem komunikasi yang hidup dan menghidupkan.
Di sinilah rahasia keberlanjutan Martabe berakar. Di perusahaan ini, keberlanjutan bukan sekadar laporan atau program, tetapi hasil dari kesadaran bersama yang tumbuh karena komunikasi yang jujur, terbuka, dan menyentuh hati.
Sebagaimana orkestra yang memerlukan keseimbangan antara setiap alat musiknya, Martabe memerlukan harmoni antara manusia, alam, dan mesin. Dan harmoni itu tercipta bukan hanya karena peraturan, melainkan karena kepercayaan yang ditanam lewat komunikasi.
Saya masih ingat peristiwa kecil yang menggambarkan filosofi ini. Suatu siang, di tengah jalur hauling road yang membelah hutan sekunder, seekor monyet ekor panjang tampak berhenti di tepi jalan. Di atasnya, terbentang tali tambang menyerupai jembatan kanopi — hasil inovasi tim lingkungan. Perlahan, monyet itu meniti tali hingga menyeberang dengan aman.
Di bawahnya, truk tambang melintas tanpa gangguan. Dua dunia yang dulu berlawanan kini berdamai.
Bagi saya, momen itu bukan sekadar pemandangan ekologis. Ia adalah simbol keberhasilan komunikasi manusia dan alam — hasil dari kesepahaman, bukan sekadar pengawasan.
Itulah jembatan arboreal untuk satwa liar yang membuat kagum dunia, sebagai bagian dari banyak terobosan dan inovasi konservasi, PT Agincourt Resources, pengelola Tambang Emas Martabe ini. Fasilitas ini memungkinkan satwa liar berpindah secara aman tanpa terganggu oleh aktivitas tambang.
Banyak lagi yang bisa dituliskan tentang konservasi PT AR, antara lain patroli konservasi perlindungan satwa liar, lubuk larangan, Waste Storage Facility (WSF) untuk pengelolaan sampah, energi terbarukan untuk operasional yang lebih hijau, pengolahan air limbah yang ramah lingkungan, penanaman kembali pohon di area terdampak, penanaman mangrove, pelepasan anak penyu (tukik) ke laut dan masih banyak lagi.

(Sang Dirigen Orkestra)
Jadi bukan sekadar menceritakan praktik lingkungan (seperti konservasi, inovasi hijau, atau edukasi masyarakat) — tetapi sistem manajemen komunikasi dan informasi yang hebat lah yang memungkinkan semua keberhasilan itu terjadi secara berkelanjutan di Tambang Emas Martabe.
Di balik keberhasilan ESG Martabe yang diakui nasional dan internasional, ada sistem komunikasi korporat yang dirancang dengan presisi — mengalir dari manajemen puncak hingga masyarakat sekitar — menjadikan semua pihak satu orkestra harmoni.
Kolaborasi lintas unit, mulai manajemen, lapangan, karyawan, masyarakat, pemerintah, dan media berlangsung harmoni.
Dalam hal ini peran seorang Senior Manager Corporate Communications, Katarina Siburian Hardono, berperan seperti dirigen orkestra — mengharmonikan semua elemen agar satu visi: tambang berkelanjutan dan berkeadaban.
Edukasi media secara rutin, bukan untuk publisitas, melainkan untuk membangun pemahaman tentang “pertambangan hijau” yang berimbang dan faktual.
Di balik keberhasilan Tambang Emas Martabe memperoleh berbagai penghargaan nasional dan internasional di bidang ESG, tersembunyi satu kekuatan yang jarang disorot: sistem komunikasi dan informasi yang dirancang secara presisi.

Dari ruang rapat manajemen hingga jalur tambang di lereng Batangtoru, aliran informasi berjalan dua arah—membangun kesadaran bersama antara perusahaan, karyawan, pemerintah, masyarakat, dan media.
Sistem ini ibarat orkestra yang dipimpin seorang dirigen: sang Senior Manager Corporate Communications, yang memastikan setiap nada — dari pelaporan internal, kegiatan konservasi, hingga pelatihan media — berpadu menciptakan harmoni.
Hasilnya, bukan hanya hutan yang kembali hijau, bukan hanya sungai yang terlindungi, atau orangutan yang belajar menyeberang di jembatan kanopi buatan. Lebih dari itu: tumbuh kesadaran kolektif bahwa tambang bisa hidup berdampingan dengan kehidupan — ketika komunikasi dijalankan dengan hati dan ilmu.
Pesan filosofis yang bisa didorong bahwa keberlanjutan (sustainability) bukan hanya hasil dari program, tetapi hasil dari sistem komunikasi yang sehat, terbuka, dan berempati. ESG bukan hanya Environment, Social, Governance — tapi juga Empathy, Synergy, Growth.

Bagi Katarina Siburian Hardono, membangun komunikasi di dunia pertambangan tak ubahnya memimpin sebuah orkestra besar.
Setiap divisi adalah instrumen: ada yang bernada teknis, ada yang sosial, ada pula yang emosional. Dan tugasnya sebagai Senior Manager Corporate Communications PT Agincourt Resources adalah memastikan semuanya berpadu dalam harmoni yang indah — bukan bising oleh ego sektoral, bukan pula tenggelam oleh kepentingan sempit.
Dia memimpin dengan gaya yang khas: tegas namun empatik, sistematis tetapi hangat.
“Komunikasi itu bukan alat publikasi,” katanya suatu kali dalam percakapan singkat dengan saya di sela kunjungan media. “Komunikasi itu jembatan untuk saling memahami. Kalau kita tak sungguh-sungguh mendengar, kita tak akan pernah dipercaya.”
Katarina tidak hanya mengatur pesan keluar perusahaan, tapi membangun ekosistem komunikasi dua arah. Ia memastikan bahwa setiap karyawan — mulai dari operator alat berat hingga staf administrasi — memahami bahwa mereka adalah bagian dari wajah Martabe di mata masyarakat.
Tak jarang ia turun langsung ke lapangan, menyapa pekerja tambang atau mengobrol dengan ibu-ibu di desa binaan. Dari sana ia mendapatkan masukan yang lebih jujur daripada dari laporan formal mana pun.
Dari tangannya pula lahir strategi komunikasi terpadu Martabe yang kini menjadi model di dunia pertambangan Indonesia.
Sistem internal Martabe Communication Loop yang memastikan setiap informasi dari manajemen tersampaikan hingga ke lapisan terbawah, program Media Partnership for Sustainable Mining, yang melatih jurnalis lokal memahami terminologi lingkungan dan tambang, serta Community Engagement Dialogue, forum rutin antara masyarakat sekitar dan manajemen untuk memetakan masalah dan solusi bersama.
Katarina sadar bahwa tambang sering kali dicurigai, bahkan ketika berbuat baik. Karena itu, ia menanamkan prinsip sederhana namun kuat: “transparansi melahirkan kepercayaan, dan kepercayaan melahirkan keberlanjutan.”
“Kalau komunikasi macet, semua akan macet — termasuk niat baik,” ujarnya sambil tersenyum.
Dan benar, di bawah kendalinya komunikasi bukan hanya fungsi pendukung, tapi menjadi urat nadi keberlanjutan Martabe.
(Berbicara dengan Hati)
Tambang Emas Martabe di Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, bukan sekadar proyek industri. Ia adalah ruang hidup yang berdenyut dengan kesadaran baru: bahwa menambang tidak harus berarti merusak.
Sejak awal beroperasi, PT Agincourt Resources menetapkan satu prinsip utama: komunikasi adalah fondasi keberlanjutan.
Bagi mereka, keberhasilan menjaga alam dan masyarakat tidak cukup dengan teknologi ramah lingkungan atau program CSR semata. Yang lebih penting adalah bagaimana pesan, informasi, dan empati mengalir di antara manusia—dari ruang manajemen hingga pelosok desa, dari dunia industri hingga ranah akademik dan media.
Sistem komunikasi inilah yang menjadi “jantung tak terlihat” Martabe. Ia membuat semua pihak saling memahami, saling percaya, dan saling menguatkan. Dalam dunia tambang yang penuh risiko, komunikasi bukan sekadar fungsi pendukung; ia adalah urat nadi kehidupan.
Di sinilah Martabe berbeda: transparansi bukan slogan, tapi budaya kerja.
Banyak perusahaan menganggap komunikasi sebatas publikasi kegiatan atau hubungan masyarakat formal.
Namun di Martabe, fungsi ini menjelma menjadi sistem manajemen pengetahuan dan kepercayaan.
Tim komunikasi bekerja erat dengan divisi lingkungan, CSR, keselamatan kerja, dan operasional. Setiap isu yang muncul dipetakan bersama—apakah soal limbah, kesejahteraan masyarakat, atau keselamatan satwa—kemudian dikaji dengan pendekatan multidisipliner.
Hasilnya bukan hanya laporan teknis, tapi juga pesan edukatif yang bisa dipahami masyarakat.
Misalnya, ketika Martabe membangun canopy bridge—jalur penyeberangan satwa liar di atas jalan tambang—tim komunikasi turun langsung mendokumentasikan prosesnya, menjelaskan tujuan ekologisnya, dan membagikannya lewat media, sekolah, hingga forum masyarakat.
Awalnya, masyarakat heran. Bagaimana mungkin tambang bisa “mengajari” hewan menyeberang pohon? Namun setelah melihat hasilnya—satwa seperti siamang dan orangutan benar-benar menggunakan jembatan pohon itu—kepercayaan pun tumbuh.
Kini, jembatan itu bukan hanya ikon konservasi, tapi juga simbol komunikasi lintas spesies: bukti bahwa harmoni bisa dicapai jika ada niat untuk memahami.
(Dari Lapangan ke Meja Redaksi)
Keberhasilan Martabe dalam menjaga lingkungan dan sosial juga ditopang oleh hubungan profesional dengan media.
Alih-alih hanya mengundang wartawan untuk meliput acara seremoni, perusahaan ini rutin mengadakan Media Capacity Building, pelatihan jurnalistik berbasis sains dan keberlanjutan.
“Wartawan itu bukan corong perusahaan, tapi mitra pengetahuan,” kata Katarina.
Melalui pelatihan ini, jurnalis diajak memahami isu-isu teknis tambang, manajemen air, energi, dan konservasi, agar mampu menulis dengan sudut pandang berimbang dan mendidik publik.
Langkah ini menciptakan hubungan yang jarang terjadi di dunia industri: simbiosis profesional antara perusahaan dan media.
Martabe tidak sekadar “mengelola citra”, tetapi membangun ruang belajar bersama—sebuah komunikasi yang matang, terbuka, dan bermartabat.
Tak heran jika banyak liputan media nasional kini mengangkat Martabe bukan hanya sebagai tambang emas, tetapi juga tambang nilai-nilai kemanusiaan.
(Tumbuh dari Kesadaran)
Martabe bukan sekadar mendapat sertifikat hijau atau penghargaan lingkungan. Di balik penghargaan-penghargaan seperti PROPER Hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia Green Mining Award, dan Asia Sustainability Award, ada proses panjang yang melibatkan manusia.
Karyawan tambang kini memahami bahwa menjaga alam bukan sekadar perintah, tetapi kehormatan.
Mereka ikut menanam pohon, memelihara kebun organik, mendukung peternak lebah, hingga melatih anak-anak sekolah memahami siklus air dan tanah.
Komunikasi internal membuat setiap pekerja merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Sementara komunikasi eksternal membuat masyarakat sekitar merasa menjadi bagian dari keluarga Martabe, bukan sekadar tetangga tambang.
Dari sinilah tumbuh apa yang disebut collective consciousness—kesadaran kolektif bahwa keberlanjutan adalah tanggung jawab bersama.
Dan semuanya berawal dari sistem komunikasi yang dirancang dengan hati.
(Inovasi yang Tak Terlihat)
Di dunia industri, orang mudah terpukau oleh alat berat, laboratorium, atau angka produksi. Tapi di Martabe, inovasi yang paling menentukan justru tidak kasat mata: sistem komunikasi dan hubungan manusia.
Ia tidak tercatat dalam laporan keuangan, tapi terasa di udara Batangtoru—dalam cara warga menyapa karyawan, dalam cara anak-anak sekolah menulis cerita tentang hutan, dalam tenangnya aliran Sungai Batangtoru yang tetap jernih meski diapit aktivitas industri.
“Kalau komunikasi macet, semua macet, termasuk niat baik,” kata Katarina suatu kali.
Ungkapan sederhana itu menjadi refleksi atas filosofi Martabe: transparency breeds trust; trust sustains sustainability.
(Transparansi menumbuhkan kepercayaan; kepercayaan menjaga keberlanjutan.
(Nada yang Menyatukan)
Seperti orkestra besar, harmoni di Martabe tak mungkin terwujud tanpa kejelasan peran.
Manajemen adalah komposer yang menentukan arah; tim komunikasi adalah dirigen yang menjaga tempo dan dinamika; karyawan dan masyarakat adalah pemain alat musik yang membuat melodi kehidupan terus hidup.
Terkadang ada nada sumbang—isu sosial, perbedaan pandangan, atau kesalahpahaman—tapi di situlah keindahan musik itu sendiri: harmoni tidak lahir dari keseragaman, tetapi dari kesepahaman.
Dalam forum-forum dialog yang digelar rutin, warga dan manajemen duduk sejajar. Mereka bicara tentang air, udara, dan peluang ekonomi. Tak ada mikrofon tunggal; yang ada adalah telinga yang mau mendengar.
Itulah inti dari orkestra komunikasi Martabe: semua pihak didengar, semua pihak terlibat, semua pihak bertanggung jawab.
(Refleksi dari Batangtoru)
Suatu sore, di tepi sungai kecil dekat area tambang, saya berbincang dengan Rudi Simangunsong, warga desa Aek Pining. Ia kini menjadi peternak lebah madu setelah mengikuti program pemberdayaan masyarakat Martabe.
“Dulu kami takut kalau tambang datang, nanti alam rusak,” katanya sambil menunjukkan sarang lebahnya. “Sekarang kami tahu, kalau kita diajak bicara, diajak menjaga, kita juga bisa maju.”
Dari Rudi, saya belajar sesuatu: bahwa keberlanjutan sejati tidak dibangun dengan dana besar, tapi dengan rasa saling percaya. Dan kepercayaan itu lahir dari komunikasi yang tulus, yang terus dijaga seperti melodi yang tak pernah putus.
(Simfoni Keberlanjutan)
Kini, ketika dunia menuntut industri untuk lebih hijau dan manusiawi, Tambang Emas Martabe memberikan pelajaran berharga:
bahwa keberlanjutan bukan hanya urusan teknologi, melainkan urusan hati.
Di Batangtoru, emas sejati bukan hanya yang digali dari bumi, tapi yang tumbuh dari kesadaran kolektif manusia yang saling mendengar dan saling memahami.
Sebuah orkestra komunikasi yang tak terlihat, tapi nyata menghidupkan harmoni antara alam dan industri.
Dan mungkin, di tengah dunia yang makin gaduh oleh klaim dan pencitraan, Martabe mengajarkan kita satu nada penting: bahwa komunikasi yang jujur dan empatik adalah sumber daya paling berharga dari semua tambang di muka bumi.(Penulis pemred mitanews.co.id- tulisan diikutkan dalam Lomba Karya Jurnalistik PT Agincourt Resources Tambang Emas Martabe)***
Baca Juga :
Seluruh Biaya Ditanggung PYC–LKYSPP, Bupati Darma Wijaya Ikuti Kursus Kepemimpinan di Singapura
















