oleh

ORANG DALAM

-Opini-1,034 views


ORANG DALAM

Penulis : Salman, S.Sos

Mitanews.co.id ||


Matahari mulai naik, bayangannya sudah lebih dari sepenggalan. Embun pagi menguap menyisakan kehangatan. Tanaman menjalar di ladang kami tersenyum senang.

Mereka siap untuk dipanen. Umurnya sudah tiga bulan, cukup dewasa dikalangan perumbian.

Biasanya untuk panen awal, buah yang tua dipilih-pilih dengan cara dicungkil dengan alat khusus, _uriak_ yang terbuat dari ruyung batang enau.

Daun dan batang disibakkan hingga tampak akar yang berujung buah dalam tanah. Dari kulit yang membayang akan tampak buah besar dan tua, kesitulah mata _uriak_ diarahkan. Ubi dicongkel, diambil. Tidak banyak yang bisa dengan keahlian ini karena dibutuhkan ketelitian dan ketekunan. Salah satunya Amak.

Rumpun ubi disasar satu persatu di atas bentengen yang dibangun. Yang belum besar dimasukkan kembali dan akan dipanen beberapa minggu lagi, menuju panen raya.

Dan hari ini adalah panen raya itu, di hari _Akaik_ menjelang pekanan di _Pasa_ Baso. Setiap Senin dan Kamis Pasar tradisional ini dibuka dengan los-los yang panjang untuk jualan.

Para petani membawakan hasil ladang untuk jual dan selanjutnya akan dibawa ke kota besar semisal Padang, Pekanbaru dan kota lain di wilayah Riau.

Dua jam sebelumnya Kami sudah berada di _sapiriang_ ladang ubi siap panen.

Sesudah ibadah shalat shubuh dilaksanakan, Kami sekeluarga bergerak serentak dengan masing-masing peralatan lengkap. Gerobak penuh berisi ember dan karung-karung kudorong dengan semangat. Apak memikul bajak bambu legendaris lengkap dengan mata bajaknya. Sedangkan Udaku kebagian menyeret-menyeret sapi yang masih _mager_. Terkejut dia dibangunkan sepagi ini saat jalanan masih gelap.

Huh dasar sapi, kebanyakan begadang jadi susah bangun. Lagian membajak ladang inikan sudah _jobdes_ dia. Padahal sudah diingatkan semalam sore saat dipotongkan rumput gajah untuk makan malamnya di kandang _subarang_.

"Awak bisuak pagi-pagi pai kaparak mambongka kapelo. Capek jago dih. Malamko jan bagadang. Lai taranga, ndak?" Kubilang begitu sambil mencincang rumput dengan sabit. Sapi hanya diam, melengos dan terus melanjutkan kunyahan rumput yang kedua puluh tiga. Kutunggu respons dari dia tapi tidak ada kode apapun. Ya sudahlah, mudah-mudahan dia mengerti.

Pagi tadi dia masih tidur-tiduran di atas air kencing dan taiknya yang berserak beleak, bukannya bersiap-siap seperti yang diharapkan. Memang tidak bisa dikasih tau dia ini, dasar lembu! Eh, sapi.

"Sal, baok kapelo nan di garobak tun pulang. Basuah langsuang dih," perintah Amak setelah gerobak penuh ubi yang baru di bongkar. Amak tetap jongkok mengumpulkan ubi yang berkeluaran dari tanah kenak mata bajak yang ditarik sapi. Empat puluh delapan tahun sudah umur Amak, semangat dan tenaganya seperti tidak pernah habis.

"Bekoh garabak suruah antaan baliak jo adiak kanyiak," perintah amak lagi. Aku yang mengerti segera melaksanakan perintahnya.

Kudorong gerobak dengan penuh semangat. Diumurku yang enam belas tahun, gerobak penuh ubi ini masih terasa enteng.

Peluh mulai menetes saat tubuh disiram cahaya matahari. Kubawa gerobak menuju rumah dengan kaki kotor bertanah tanpa alas. Tidak jauh memang, sepuluh menit perjalanan tidaklah sampai.

Kuambil ember besar dan dituangkan sebagian ubi bertanah ke dalamnya. Dituangkan air lalu kucuci sampai bersih.

*****

"Mak, mak! Caliaklah tangan den bangkak," teriakku membangunkan Amak sepagi itu dan beliau ternyata sudah bangun dan bersiap ke pasar.

Bangun pagi harus dilakukan kalau tidak ingin terlambat sampai ke Baso. Hanya ada satu angkutan yang membawa penumpang di subuh hari.

Memang bakda subuh para toke pengepul sudah hadir saling berebut membeli _Kapelo_, Pisang, sayur mayur dan lainnya dari tangan petani.

Bus Datsun sudah menunggu di simpang sebelum subuh. Habis subuh, penumpang berdatangan setelah shalat. Sopirnya shalatkah? Mungkin saja.

Sebelum subuh aku bangun karena Senin ini adalah hari pertama ujian EBTANAS di sekolah. Niatnya mau mematangkan persiapan, tapi tak menyadari tangan telah bengkak.

Lagian tadi malam rasanya tidak bisa tidur karena memikirkan mau ujian ini atau bisa jadi karena tangan kanan yang berdenyut ini. Entah apa penyebab bengkak belumlah tahu.

Amak menghentikan zikirnya di atas sajadah yang biasa diwiridkan menunggu azan. Kusorongkan tangan mendekati wajah amak.

"Mandanyuik, mak. Baa ka ujian bekoh goh. Mamacik pena sen payah," Ucapku khawatir mengeluh merintih. Amak melihat sekejap dan langsung berdiri menuju lemari kaca yang berada di tengah ruang rumah.

Minyak yang dituang dari botol diusapkan ke punggung tanganku yang bengkak. Dilihatnya sekali lagi.

"O, bangkak ndek tangan bakuman mah. Caliaklah ado bintiak-bintiak putiah di sinar," ucap Amak menjelaskan.

Setelah diperhatikan memang ada bintik-bintik gelembung berair di telapak tanganku. Di sekitar bawah ibu jari mendekati pergelangan.

"Barati pacah wakatu mambasuah pelo patang. Aia nan baluluak mambueknyo inpeksi. Pai lah mandi, langsuang ambiak aia sumbayang. Bekoh Amak ubek i," Amak mengarahkan dan mencoba menenangkanku.

Selesai shalat Amak belum berangkat ke pasar, membiarkan Datsun berangkat tanpa kehadirannya. Amak menyiapkan sapu tangan yang telah dikasih ramuan.

Apa itu ramuannya, aku juga tidak tahu. Efek yang dirasakan nyaman dan dingin di tangan. Seketika hilang rasa panas dan denyut walau tangan ini masih bengkak.

Jadi teringat cerita Amak. Sewaktu kecil bercita-cita ingin jadi perawat namun tidak kesampaian karena keterbatasan biaya. Dengan bangga dibilangkannya kepada kami anak-anaknya bahwa nilai rapornya yang bagus, terutama pelajaran Berhitung dan Pengetahuan Alam.

Amak berangkat ke pasar kesiangan. Jarak tempuh tiga kilometer melewati _Sudarek_, sebuah kawasan perladangan dilahap hanya dalam dua puluh delapan menit.

Tinggal aku sendiri dengan tangan bengkak dibalut sapu tangan putih. Penghuni rumah lain sibuk dengan diri masing-masing tanpa tahu keadaan ini.

"Dia tangan ang, Sal? Baa kok pakai sapu tangan?" tanya Udaku heran. Aku tidak menyahut, kujulurkan tangan.

"Bangkak," jawabku.

"Mangko bisa?" tanyanya.

"Ndak tau," jawabku.

"E, joh. Baa lo bisa ndak tau," tanyanya mendesak.

"Yo, ndak tau!" jawabku bertahan.

"Jadi baa ujian bekoh," tanyanya lagi.

"Modekolah. Pakai tangan kida," jawabku lagi, pasrah.

"Ondeh, pakai kida? Tangan suok sen indak tabaco!", sergah Udaku.

Memang benar yang diucapkannya. Menulis dengan tangan kanan saja tulisanku payah dibaca. Kata orang-orang, seperti tulisan kaki ayam. Tidak tampak liak liuk hurufnya, semua seperti sama antara huruf r, m, n dan lainnya. Apalagi menulis dengan gaya huruf tegak bersambung.

Hanya guru dengan kesabaran tinggi yang mau membacanya. Itupun kalau jawabannya mengarah ke salah, maka langsung dicoret tanpa perlu membaca sampai akhir. Bikin pusing, buang-buang waktu, mungkin begitu pikir para guru.

Untung metode ujian EBTANAS ini pilihan berganda. Berarti aman karena hanya urusan silang-menyilang. Tantangannya hanya menuliskan nama dan kelas di atas kertas jawaban, gampang.

Pagi ini agak istimewa. Aku dan Udaku diantar naik sepeda motor Apak, Honda CB 100 andalan keluarga kami. Waktu tempuh tiga puluh menit jalan kaki dipangkas jadi tujuh menit saja. Ada juga untungnya bengkak tangan ini.

"Dia tangan ang Sal. Ka main silek ang?" spontan terlontar pertanyaan kawanku Emen. Tanya yang disertai _cimeeh_. Padahal Aku belum sampai ruang ujian, pertanyaan nyinyir begini sudah menyapa. Aku diam saja.

Diamatinya tanganku lebih dekat. "Kada ang mah. Ang masuak an tangan ka ikua kabau?" tanyanya pura-pura heran sambil kekeh. Bagi dia semua lucu, perlu ditertawakan.

Kutokok kepalanya sekali agar diam. Sebenernya aku khawatir tawanya akan memancing perhatian siswa lain yang bersiap ujian.

Kan aku belum siap berada di tengah kerumunan. Nanti ada pula yang minta foto bersama dan tanda tangan. Tanda tanganku lagi jelek karena jadi kidal.

"Aniang sen lah ang. Iko ka gaya-gayaan sen mah," Ucapku berlalu cuek menuju bangku sesuai nomor ujian.

Di dalam ruang kelas telah duduk siswa lain. Sebanyak empat belas orang telah duduk di bangkunnya masing-masing. Aku orang yang kelima belas, sudah penuh. Tinggal menunggu pengawas dari luar sekolah membawa soal. Masih ada dua belas menit lagi memang.

Pada hari pertama ujian EBTANAS tingkat SMP ini, mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika dan Bahasa Indonesia di sesi kedua.

Saat ujian dimulai, soal yang tersaji rasanya bisa dijawab, karena hampir dua bulan terakhir aku sudah mengulang seluruh pelajaran mulai dari kelas satu sampai kelas tiga.

Kutumpuk buku paket dan catatan berdasar mata pelajaran hingga menggunung di atas meja. Habis dikupas ulang, gantian dengan tumpukan baru berdasarkan mapel.

Masalah kemudian adalah bagaimana menuliskan atau menyilangkan jawabannya di atas kertas yang telah disediakan. Bergetar juga tangan kiri ini. Otot tangan belum siap bekerja seperti yang diharapkan. Kaku dan tidak mau kompromi.

Perkara menyilang menjadi rumit. Perasan terburu semakin mempersulit keadaan.

Akhirnya, dengan memaksakan kinerja tangan kiri, ujian pertama selesai.

Waktu jeda ujian kumanfaatkan istirahat di kelas. Selain mengindari perhatian siswa lain, rasa kantuk mulai menyerang. Entah karena energi habis terkuras menjawab soal sekaligus mengendalikan tangan kiri atau memang semalam yang kurang tidur.

Kuletakkan kepala di tangan yang terlipat di atas meja. Maksud hati biar tenang sekejap, lalu terlelap.

"Jago oi! Kok ka lalok di rumah," teriak Emen sambil memukul meja dan tertawa seperti biasa. Dimana lucunya aku tidak tahu.

Sontak kepala terangkat, tangan bergerak acak. Sialnya, tangan kanan membentur meja sebelah.

"Aduhhh!" teriakku kesakitan.

"Kambiang, ang," umpatku sebagai kata kedua sebagai respons sesudah kata aduh. Yang dikatai tambah kekeh.

Begitulah lelucon sesama teman sepergaulan. Betulkah dia kambing, tentu saja tidak. Betulkah tanganku dimasukkan ke pantat kerbau, tentu juga tidak.

Pengawas ujian kedua masuk kembali. Kali ini Bahasa Indonesia yang diujikan.

Soal 60 pilihan ganda, 10 jawaban singkat, 5 esai dan 1 soal mengarang. Alah mak, esai dan mengarang muncul!!!

Keringat dingin mengalir deras di punggung. Pas di tengah tulang belakang berkumpul mengalir sampai ke tulang ekor. Berhenti diserap kolor yang terpasang ketat.

Kali ini tidak ada lagi pilihan. Tangan kiri tidak bisa diandalkan. Dipaksakan tangan kanan memegang pulpen. Perkara mudah saja seharusnya namun jadi sulit karena semua jari-jari ikut gembung. Pena biru yang dipakai terasa kecil dan gawatnya jariku tidak merasakan kehadirannya.

Alhasil akulah yang terakhir keluar ruangan disaat bel tanda selesai menjerit delapan menit telah berlalu. Hanya karena kebaikan hati pengawas maka aku dikasih tambahan waktu.

Sorenya Aku dan Uda membawa tangan infeksi ini ke dokter di Padang Ganting, Tanah Datar. Kejauhan ya?

Bagaimana lagi, disitulah Uni bertugas.

Ujian selesai. Lima mata pelajaran diselesaikan dalam tiga hari. Hasilnya, wallahu a'lam.

*****
Rabu, 8 Mei 1992.

Anak-anak berkerumun di papan pengumuman sekolah. Hari ini adalah pengumuman kelulusan dan penandatanganan ijazah serta pembubuhan sidik jari. Lupakan tangan yang bengkak, semua sudah pulih normal.

Sebenarnya, pengumuman diawali dengan upacara pengarahan bagi siswa kelas tiga yang akan tamat. Karena aku terlambat, jadi tidak tahu apa saja yang disampaikan oleh kepala sekolah.

Aku merapat ke papan pengumuman, ikut berdesakan.

Badan yang kurus kecil bukan ukuran yang pas untuk masuk kedalam kerumunan. Badanku jadi terjejer, terjepit dan hampir terjatuh terinjak. Cepat aku tarik diri mencari ruang lapang.

"Salamaik yo, sal. Awak nomor tigo. Tadi alah diumumkan pak kapalo sakola. Diimbau-imbau wakatu pambagian hadiah, awak ndak tibo," kata teman perempuanku saat aku sudah menepi dari keramaian. Kata-kata itu sulit dicerna ditambah lagi yang bicara adalah satu yang terbaik diangkatanku.

"Awak nomor ampek. Salisiah nol koma awak" Katanya meneruskan. "Kalau indak amuah hadiahnyo, biak awak ambiak," ucapnya sambil menggoda.

Masih belum bisa dipercaya.

Kupaksakan lagi merangsek ke Papan Pengumuman. Berhasil masuk setelah sekian lama berjuang. Mata tertuju ke lembar pertama paling atas.

Jantung berdegup kencang, napas tertahan. Mata seolah belum bisa meyakinkan apa yang dilihat. Tercantum namaku di nomor tiga di antara 150 orang siswa. Alhamdulillah.

------

"Dima ka sakola, Sal. Bia pai awak bisuak," tanya Apak di rumah sehabis Isya.

Waktu Isya ini sering dimanfaatkan Apak untuk rehat sejenak sambil duduk santai di kursi rotan dengan jamuan kopi dan pisang goreng dingin.

Jarang-jarang Apak bertanya seperti ini. Hanya untuk urusan yang sangat penting beliau mengajak Kami berdiskusi. Sedangkan untuk urusan yang sifatnya remeh temeh, beliau putuskan sendiri. Dan aku merasa bangga sudah dianggap layak untuk ditanyakan pendapatnya.

Tanpa menunggu tanya kedua kali, kusampaikan keinginan untuk sekolah di Ibu Kota Kabupaten, Bukittinggi.

Apak mengangguk-angguk. Hanya begitu responsnya dan itu sudah lebih dari cukup.

"Bisuak jago pagi," kata apak mengakhir diskusi pendek. Sekali lagi, ini adalah kebanggaan.

Aku menghitung-hitung. Jarak dari simpang jalan raya ke Bukittingi sembilan kilometer. Mungkin itu masih di perbatasan. Jika ditambah dua kilo lagi ke sekolah idaman, maka menjadi sebelas kilo. Dan tambah sekilo kedalam dusun menjadi dua belas kilo. Maka lima belas menit tuntas sampai lokasi naik Onda bersama Apak. Aman kalau bersiap pukul tujuh pagi.

Jam sembilan lewat sedikit kami tiba di SMA yang ditarget. Sepi.

Tidak terlihat ada kesibukan penyambutan siswa baru.

Kami masuk semakin dalam. Terlihat Bapak berpakaian safari necis sedang membereskan mejanya. Dari tata ruang, ini terlihat seperti ruang guru yang ditandai dengan buku bertumpuk, ada peralatan mengajar semisal rol kayu, kapur dan globe.

Di dinding ruangan terpasang gagah foto Presiden dan Wakil Presiden, HM. Soeharto dan H. Sudharmono, S.H. mengapit burung Garuda. Di bawahnya ada sepasang foto pejabat lainnya tapi aku tidak kenal.

"Assalamulaikum. Alah buka pendaftaran siswa baru, pak? tanya Apak formal.

Guru bersafari menghentikan kegiatannya, terus melihat kami sekaligus. "Apak dari maa?" tanyanya balek.

Aneh orang ini pikirku. Tanya itu dijawab bukan ditanya. Namanya saja tanya-jawab bukan tanya-tanya. Hmm... Baru tahu aku bagaimana orang dewasa bicara.

"Dari jauah kami, pak. London," jawab Apak tersenyum. Aku mikir lagi, kok jauh kali kami dari London. Ini pasti candanya orang dewasa.

"Jan bagarah juo pak. Dari ma sabananyo? Ciek lai nan ditanyo tu dari SMP ma, indak kampuang apak nan ditanyoan," balas Bapak bersafari kesal.

Sepertinya asal sekolah atau daerah akan menentukan jenis pelayanan yang diberikannya.

Kesadaranku muncul satu lagi, orang ini tidak kenal Apak. Padahal kupikir sebelumnya semua orang di Bukittinggi kenal beliau karena sudah bertahun-tahun dinas di sana.

"Indak, kami ka mandaftar di siko. Alah ado panitia, Pak?" akhirnya Apak menyampaikan maksud kedatangannya.

Kesal di raut wajah Bapak bersafari belum pudar. Dia tidak langsung menjawab. Ditariknya nafas dalam-dalam, lalu dihembuskannya dengan kuat.

"Taun kini barubah peraturan, Pak. Sado calon siswa mandaftar di Dinas. Panitia daerah kumpua di sinan sadonyo. Kalau lah salasai diuruik NEM-nyo baru di bagi ka sakola-sakola. Jadi diantaro tigo sakola nan ado indak barabuik siswa," Jelas Bapak Itu ke Kami.

"Jadi, pai lah daftar ka situ," Katanya mengakhiri percakapan.

Tidak tahu kebijakan itu sebelumnya, Kami bergegas menuju Dinas Pendidikan.

Di sana sudah ramai orang berkumpul mengantri, orang tua dan calon siswa. Kebanyakan Bapak-bapak yang ambil posisi berbaris walau tetap ada ibu-ibu.

Sedangkan anak-anak yang rata-rata sepantaran denganku duduk meminggir dengan map plastik di tangan. Apapun dijadikan tempat duduk. Pagar pendek, tumpukan batu kali, tong sampah. Dan tidak jarang map plastik jadi alas duduk tanah. Sinar matahari bersinar lantang.

Giliranku sekarang, Apak menganggukkan kepala sebagai sinyal. Aku mengerti bergegas menuju barisan.

Sampai di dekat Apak, aku lihat panitia lagi menjelaskan.

"Penerimaan siswa berdasarkan rayon, Pak. Sekolah anak Apak ini bukan ke sini Rayonnya. Minta dululah surat surat pengantar dari sekolah rayon, ya," jelas laki-laki muda di balik jendela kaca. Dia seperti pegawai muda yang menjaga jarak dengan Apak. Dia berbahasa Indonesia!

"Lihatlah dulu berkas anak Awak," balas Apak memohon dengan Bahasa Indonesia yang kaku.

"Bagus-bagus nilainya," ujar Apak berusaha meyakinkan dengan menyodorkan map yang telah kuberikan.

"Tidak usah, Pak. Pokoknya kalau tidak ada surat rekomendasi dari sekolah asal rayon, kami tidak bisa menerima pendaftaran. Berikutnya!" pungkas sang panitia gagah tanpa ada kompromi, mantap.

Honda CB 100 dipacu kencang ke SMA rayon. Diparkir rapi dekat gerbang bersamaan dengan kendaraan lainnya.

Targetnya mau menjumpai pegawai satu kampung yang jadi TU SMA ini. Tidak payah mencarinya. Tidak lama kemudian Kami berjumpa.

"Kok sado nan santiang pindah rayon, sia nan ka sakola di siko," ucapnya setelah Apak menjelaskan maksud kedatangan.

Argumen ini menjadi penggugur harapanku. Rekomendasi tidak diberikan dan aku bersekolah di sini, di SMA rayon.

------

Setua ini aku baru sadar kenapa nomor satu, dua, empat dan banyak orang di nomor berikutnya bisa bersekolah di Ibu Kota Kabupaten.

Orang dalam sudah memegang peranan penting sejak dulu.****

Baca Juga :
Sambut Ramadhan, Remaja Masjid Al-Huda dan Warga Sei Jenggi Gelar Pawai Obor

News Feed