oleh

Antara Bingkisan dan Integritas Pejabat Publik

-Opini-216 views

Antara Bingkisan dan Integritas Pejabat Publik

Penulis oleh: Hotman Siagian

Mitanews.co.id ||
Dalam dunia birokrasi pemerintahan, praktik pemberian cenderamata atau bingkisan saat kunjungan pejabat dari tingkat yang lebih tinggi ke daerah masih kita jumpai. Umumnya, bingkisan ini dikemas dalam istilah “tanda terima kasih”, “penghargaan”, atau “kenang-kenangan”. Meski terlihat wajar dalam konteks seremonial, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah praktik semacam ini masih layak dipertahankan dalam era reformasi birokrasi dan transparansi saat ini?

Fenomena tersebut menimbulkan perdebatan, terutama dalam sudut pandang hukum dan etika. Sebab, setiap pemberian kepada pejabat publik — sekecil apa pun — bisa masuk dalam kategori gratifikasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Gratifikasi dianggap sebagai bentuk suap apabila berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima.

Dalam praktiknya, banyak bingkisan yang secara kasat mata memang tidak bernilai tinggi. Namun, benarkah demikian? Apakah tidak ada niat terselubung untuk mengambil hati, menciptakan hubungan "balas budi", atau membangun simpati demi kemudahan urusan? Di sinilah letak dilemanya. Transparansi dan integritas pejabat publik diuji tidak hanya oleh jumlah uang atau nilai barang, tetapi juga oleh niat dan konteks pemberian itu.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Peraturan Nomor 2 Tahun 2019 memberikan ruang terhadap gratifikasi yang dianggap wajar dalam hubungan sosial atau kedinasan. Misalnya, pemberian cenderamata dalam kegiatan resmi bersifat simbolis, tidak mewah, dan tidak memengaruhi keputusan pejabat yang bersangkutan. Namun, celah ini kerap disalahgunakan oleh sebagian pihak dengan membungkus praktik gratifikasi dalam kemasan yang “resmi”.

Lebih jauh, budaya basa-basi dan sungkan masih menjadi penghalang utama dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih. Tak sedikit pejabat daerah yang merasa “wajib” menyiapkan bingkisan untuk tamu dari tingkat lebih tinggi, hanya demi menjaga kesan baik atau hubungan kelembagaan. Di sisi lain, ada pula pejabat yang merasa “berhak” menerima karena menganggap itu bagian dari tradisi atau penghormatan jabatan. Padahal, praktik semacam itu justru menciptakan jebakan moral yang memperlemah profesionalisme birokrasi.

Pemerintahan yang sehat seharusnya bertumpu pada kerja dan kinerja, bukan pada bingkisan atau simbol penghargaan semu. Bila seorang pejabat berkunjung ke daerah, semestinya nilai pertemuannya terletak pada substansi agenda, bukan pada apa yang dibawa pulang. Jika bingkisan menjadi kebiasaan, maka kunjungan kerja bisa berubah menjadi ajang seremonial yang penuh basa-basi, bukannya ruang dialog produktif.

Bukan berarti seluruh pemberian harus dicurigai, tetapi prinsip kehati-hatian dan transparansi harus menjadi fondasi. Bila bingkisan itu memang diberikan dalam acara resmi dan bernilai wajar, hendaknya dicatat, dilaporkan, atau bahkan ditolak secara terbuka jika dianggap berlebihan. Di sinilah integritas pejabat diuji. Bukan pada saat pidato, tetapi dalam momen-momen kecil yang menentukan arah moral seorang pemimpin.

Langkah-langkah seperti pelaporan gratifikasi ke KPK dalam 30 hari kerja, transparansi anggaran seremonial, dan pembatasan nilai pemberian sudah menjadi bagian dari regulasi. Tapi tanpa keberanian moral dari para pejabatnya, aturan tinggal aturan.

Pemerintah pusat dan daerah sebenarnya bisa mengambil langkah lebih konkret: menerbitkan pedoman teknis atau surat edaran yang melarang atau membatasi pemberian bingkisan dalam kegiatan kedinasan. Hal ini sudah dilakukan beberapa instansi dan kementerian sebagai bentuk komitmen mewujudkan zona integritas.

Indonesia saat ini tengah bergerak menuju birokrasi yang profesional, bersih, dan melayani. Perjalanan ke sana tentu tidak bisa dibebani oleh praktik-praktik lama yang penuh kompromi moral. Bingkisan hanyalah simbol kecil dari budaya yang lebih besar — budaya patronase dan basa-basi yang harus dikikis secara perlahan.

Kita membutuhkan pejabat publik yang tidak sekadar taat aturan, tetapi juga berani berkata “cukup” pada budaya yang tak sejalan dengan semangat integritas. Dalam dunia pemerintahan yang ideal, hadiah terbaik bukanlah plakat, souvenir, atau bingkisan, melainkan kejujuran, akuntabilitas, dan keberanian untuk berkata tidak pada yang tidak benar.

Jika kita ingin melihat birokrasi yang bersih, maka perubahan harus dimulai dari hal-hal kecil — termasuk cara kita memaknai bingkisan.***

Baca Juga :
286 Calon Jamaah Haji Sergai Siap Berangkat, Bupati Sampaikan Pesan Ini

News Feed