oleh

Urgensi Serta Tidak Efisiennya Pidana Denda Bagi Para Koruptor Dalam Pembaharuan Hukum Pidana

-Hukum, Opini-1,421 views

Ahmad Raihan Harahap S.H (227005132)
Mahasiswa magister ilmu hukum USU

Mitanews.co.id ||


Pidana denda sebagai instrumen pemidanaan untuk mencapai tujuan pemidanaan merupakan salah satu jenis pidana pokok sebagaimana diatur dalam KUHP pasal 10 yang hukumnya berupa hukuman-hukuman pokok, yaitu hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan, dan hukuman denda; serta hukuman-hukuman tambahan berupa pencabutan beberapa hak- hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Untuk mengetahui strafsoort dalam hukum pidana korupsi, maka dalam pembahasan ini akan diuraikan rumusan sanksi pidana yang ada di dalam UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 sebagai perubahan dari UU No. 31 Tahun 1999.

Rumusan sanksi pidana dalam undang- undang tersebut terdiri dari tiga sistem, yaitu sistem perumusan tunggal, sistem perumusan alternatif-kumulatif, dan sistem perumusan kumulatif.

Ketiga sistem perumusan tersebut dapat dilihat pada ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 1999.

Dalam perkembangan pemidanaan di indonesia, pidana denda sebagai alternatif pemidanaan telah diakomodir oleh negara sebagai politik kriminal.

Hal ini telah tercermin dari banyaknya peraturan perundang - undangan yang juga mencantumkan pidana denda sabagai sanksi pidana, bahkan dalam RKUHP ancaman pidana denda hampir terdapat pada ancaman pidana pada setiap pasal yang mengatur tentang kejahatan.

Pengaturan pidana denda dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan dengan mengakumulasikan ancaman pidana denda dengan ancaman perampasan kemerdekaan.

Dengan demikian, terhadap pelaku kejahatan yang melanggar pasal yang didalamnya diatur secara kumulatif pidana denda dan perampasan kemerdekaan, maka hakim harus memutuskan pidana denda dan pidana penjara secara bersama-sama.

Berdasarkan rumusan tersebut, pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti secara sah dan meyakinkan oleh Majelis Hakim, harus dijatuhi sanksi berupa pidana penjara dan pidana denda secara bersamaan (bergabung).

Di sini hakim tidak diberikan kebebasan memilih dalam penjatuhan sanksi pidana. Hakim mau tidak mau harus menjatuhkan sanksi pidana penjara dan pidana secara bersamaan.

Seyogiyanya hukuman denda sangat tidak efektif dikarenakan adanya pasal dalam KUHP yang mengatur tentang ketidak sanggupan membayar denda yang diatur dalam pasal 30 ayat 2 dan 3 KUHP.

Dalam hal ini, banyaknya kasus korupsi tidak membayarkan denda dan pelaku lebih memilih diganti dengan hukuman kurungan yang hanya 6 bulan maksimalnya.

Padahal, tujuan sebenarnya dari penerapan hukuman denda ini ialah salah satunya untuk memiskinkan para koruptor, selain itu sulitnya aparatur penegak hukum dalam membuktikan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh para koruptor membuat tindak pidana korupsi bukanlah sesuatu kejahatan serius, dikarenakan selepas dari menjalani hukuman yang ditetapkan para pelaku korupsi masih memiliki berbagai aset yang disembunyikan.

Disinilah kegagalan dan keharusan aparatur penegak hukum dalam menggali TPPU dari berbagai kejahatan terutama tindak pidana korupsi.

Pemulihan aset (asset recovery) dihadapkan pada realitas ketidakmampuan terpidana korupsi untuk membayar pidana uang pengganti karena secara normatif dimungkinkan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Padahal kenyataaannya, masih ada aset tersembunyi milik terpidana yang belum dilakukan penyitaan oleh penegak hukum.

Akibatnya, asset recovery tidak bisa dicapai karena terpidana memilih menjalani pidana subsider dan negara tetap merugi.

Selanjutnya, Kitab Undang-undang Pidana terbaru juga mengatur soal pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, hukuman pidananya mengalami penurunan.

Dalam naskah terbaru, tindak pidana korupsi diatur pada Pasal 603. Pada Pasal tersebut dijelaskan koruptor paling sedikit dipenjara selama dua tahun dan maksimal 20 tahun.

Koruptor juga dapat dikenakan denda paling sedikit kategori II atau Rp10 juta dan paling banyak Rp2 miliar.

Berikut bunyi pasal tersebut; "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI".

Hukuman denda bagi koruptor di KUHP barupun mengalami penurunan. Sebelumnya, dalam UU No 20/2001, koruptor didenda paling sedikit Rp200 juta.

Berikut bunyi Pasal 2; "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".

Tidak hanya itu, Pidana penjara pada KUHP baru itu lebih rendah dan mengalami penurunan dari ketentuan pidana penjara dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada Pasal 2 undang-undang tersebut dijelaskan koruptor bisa mendapat pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun.

Pada pasal 81 RKUHP mengatur, “pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu dan bisa dilakukan dengan cara mengangsur. Apabila pidana denda tidak dibayarkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasinya".

Pada pasal 81 ini, pengaturan pidana denda sudah sangat bagus dalam mengabulkan tujuan memiskinkan para pelaku koruptor dan menimbulkan efek jera serta mengembalikan kerugian negara akan tetapi pada pasal 82 RKUHP melemahkan pasal 81 itu sendiri yang dimana aparatur penegak hukum haruslah lebih pintar daripada pelaku tindak pidana korupsi karena sejatinya tidak ada seorang pelaku korupsi yang tidak mengamankan uang hasil kejahatan yang merugikan negara dengann tujuan memperkaya diri sendiri tersebut, para pelaku pastilah melakukan upaya pencucian uang dan mengamankan sebagian aset kekayaannya dengan berbagai cara.

 

Selain dilemahkannya pidana penjara bagi para koruptor, dan banyaknya celah pada pasal pengganti pidana denda tersebut, tindak pidana korupsi ini bukan lah suatu kejahatan luar biasa lagi (extra ordinary crime), tetapi nantinya menjadi kejahatan biasa dan digemari para pelaku korupsi.(MN.16)

Baca Juga :
2 Warga Perbaungan Diamankan Bawa Sabu dan Ekstasi

News Feed